Sunday, August 07, 2005

PLURALECTICA OF TRUTH CLAIM II : episode lanjutan

Kontekstualitas problem pluralitas terletak pada siapa atau pihak mana yang mampu menaungi dan merangkul segala bentuk eksklusifitas truth claim ( klaim kebenaran ) berbagai agama di dunia dan toleran terhadap segala bentuk apresiasi ritualitas keberagamaan. Yang jelas pihak tersebut haruslah dari sesuatu yang universal yang bisa dijadikan “host culture”. Entah itu dengan konsep menyetarakan atau mecari titik temu agama – agama, melebur nilai – nilai agama agar sesuai dengan tuntutan modernitas, kedua konsep tersebut jelas menafikan dan mereduksi eksklusifitas masing – masing agama.adapun Islam ketika melihat fakta pluralitas lebih mengedepankan tiga solusi yang memuaskan akal, menentramkan hati dan sesuai dengan fitrah manusia serta bisa langsung diterapkan ( aplikatif ). Tiga solusi tersebut antara lain pertama secara teologis ( aqidah ) islam mengakui fenomena universalitas kenabian dan wahyu yang terjadi di seluruh ruang dan waktu dengan demikian seluruh umat manusia adalah satu
( wihdatul ummatan wahidah ), setiap manusia – individu atau kelompok pernah menjadi umat salahsatu nabi atau rosul terdahulu yang membawa esensi pesan ( dien ) yang sama yakni tauhid meskipun pada perkembangan selanjutnya warisan kenabian tersebut bergeser menjadi tradisi agama budaya, kedua secara akhlak ( moral ) Islam mengajarkan toleransi, saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan diantara manusia ( la ikrah fid dien ), yang ketiga secara legalis fiqhiyah daulah tertuang dalam konsep “khilafah islamiyah” yang terbukti secara historis dan normatif memberikan hak dan tuintutan kewajiban yang setara sebagai warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, etnis, wilayah geografis. Hak – hak tersebut antara lain hak melaksanakan kewajiban agamanya yang menyangkut keyakinan, ibadah ritual, pakaian, makanan dan minuman, hak keamanan atau perlindungan jiwa, harta dan kehormatan, hak mendapatkan pelayanan publik, hak mendapatkan keadilan dalam hukum, hak berpolitik atau menyuarakan aspirasi dan tuntutan hak – haknya yang terabaikan dalam majelis syuro, hak menjadi pegawai pemerintahan untuk jabatan – jabatan tertentu dan seterusnya. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada non muslim antara lain membayar jizyah bagi lelaki dewasa yang mampu bukan diambil dari orang tua, perempuan, anak – anak dan fakir miskin malahan mereka ini wajib diberi penghidupan yang layak dan disantuni oleh negara, kewajiban yang lainnya menjaga stabilitas negara / umum, larangan membuat keonaran dan seterusnya.


Tapi perlu digarisbawahi bahwa dalam Islam terdapat konsep normatif nasikh mansukh eksternal agama – agama nabi dan rosul terdahulu artinya islam (nasikh = penghapus / pembatal ) menghapus atau membatal syari’at dan minhaj ( agama ) nabi dan rosul terdahulu
( mansukh = obyek yang dibatalkan ), hal ini berlaku ketika muhammad diangkat menjadi nabi dan rosul hingga dunia ini berakhir / kiamat. Proses nasikh mansukkh adalah sesuatu yang alami, sunnatulloh mengikuti perkembangan zaman dan sebagai pembaharuan syari’at nabi dan rosul terdahulu yang tel;ah ditahrif
( dirancukan ), ditalbis ( dicampur adukkan antara kebenaran dan kepalsuan ) dan ditahdil ( dirubah ) hingga pada perkembangan selanjutnya warisan kenabian tersebut bergeser menjadi tradisi agama budaya. Oleh karena itu Islam mengajak umat lain untuk menjadi muslim seutuhnya / kaffah dan bersama - sama mewujudkan wihdatul ummatan wahidah serta meninggalkan kesesatan yang mereka lakukan. Apabila mereka memeluk islam, mereka samasekali tidak tidak mengubah agama mereka karena memang hal itu merupakan bagian dari agama mereka yang memerintahkan beriman kepada kerasulan muhammad dan menganut syari’ahnya dan bahwa rislah muhammad untuk semua manusia. Maka dari itu tidak seorang pun penganut agama menukar ketaatan agamanya jika dia memeluk Islam. Ibaratnya ajaran nabi terdahulu ibarat sesuatu proses konstruksi suatu bangunan dan Muhammad adalah peletak pondasi terakhir dari bangunan tersebut. Siklus nasikh mansukkh yang ideal ini berjalan secara alami dan perlahan diawali dengan membuminya islam sebagai “host culture” dengan memberikan kemulian dan kedamaian kepada manusia hal ini akan dengan sendirinya mengidealiskan diri menjadi dominasi mayoritas yang toleran terhadap minoritas dan menghegemoninya peradaban islam hingga akhirnya mencapai tataran idealnya yakni wihdatul ummatan wahidah ( umat yang satu ), proses ini berjalan secara automatically, alamiah, sunnatulloh dan tidak ada paksaan dan umat lain telah melihat / tampak jelas dan nyata kebenaran dan kemulian islam hingga mereka berbondong – bondong dengan ikhlas melafalkan “ laailaa ha illallah muhammadarrosullah”.


Jadi kesimpulan akhirnya ketika Islam telah berinteraksi dengan agama lain dan kebenaran sudah tampak jelas dihadapan mereka namun masih saja saling berbantahan dan tidak menerima kebenaran Islam serta tidak menjadikan mereka muslim maka umat islam tidak akan bersikap menghakimi dan membinasakan mereka tapi akan bersikap berserah diri kepada keputusan allah di hari pembalasan kelak dan bersikap menjadi “host culture” yang baik dan toleran yang lahir dari keyakinan total bahwa islam berada di pihak yang benar, perlu dipertegas kembali bahwa kafir adalah dien atau keyakinan selain islam, kafir tempatnya di neraka apabila kebenaran islam sudah tampak jelas nyata diserukan kepada mereka tetapi kemudian mereka meyakini dalam hati dan mengetahui kebenaran islam seperti mengenal anak mereka sendiri tapi karena ego, harta, kekuasaan dan kesombongan mereka malah menyembunyikan kebenaran tersebut dan bersikap destroyer terhadap islam, orang – orang kafir seperti inilah yang kekal di neraka.
Kembali ke masalah pluralitas agama yang masing – masing umat non muslim masih tetap setia dengan agamanya setelah islam sudah sedemikian eksis dengan believers dan ajarannya mereka ini terpecah menjadi beberapa golongan, meskipun kesimpulan ini sangat kompromistis, spekulatif dan bersifat transendent ( diluar jangkauan akal, pengetahuan dan pengalaman manusia ). Golongan itu antara lain
a. umat non muslim / golongan yang tidak pernah berinteraksi dengan islam atau tidak memiliki pengertian dan pemahaman yang memadai tentang muhammad dan islam, orang – orang seperti ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan walaupun mereka mempraktekkan kekeliruan dan kesesatan agama mereka
b. umat non muslim golongan yang telah mengenal islam dan muhammad tapi karena kerancuan yang disebabkan pemimpin – pemimpin agama mereka yang tidak saja menentang kebenaran islam dan muhammad tetapi juga menyembunyikan hakekat kebenaran islam. Golongan ini ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan karena mereka disembunyikan, dirancukan dari hakekat kebenaran islam dan muhammad.
c. umat non muslim / golongan yang senantiasa mencari dengan tekun dan bekerja keras mencari kebenaran dengan kapasitas kemampuannya yang cerdas dan telah berinteraksi dengan islam tapi hal itu sama sekali tidak memuaskan akal dan pikirannya hingga pada akhirnya orang tersebut tidak sampai pada hidayah atau kebenaran islam maka orang seperti ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan oleh allah. Tipe seperti ini bisa seorang muslim dan non muslim yang ragu dan dia mencari kebenaran islam (sebagian kecil muslim liberal / moderat dan orientalis bisa ditempatkan disini? )
d. golongan yang mengetahui kebenaran islam dan muhammad seperti mengenal anak mereka sendiri tapi karena ego, harta, kekuasaan dan kesombongan mereka malah menyembunyikan, menekan, menentang dengan cara merancukan pemikiran dan pendustaan tentang islam dan nabi muhammad SAW dan bersikap destroyer terhadap islam. Golongan seperti inilah yang kekal dineraka kelak sebagai imbalan atas dosa tahrif ( merancukan isi, konteks dan makna ), tahdil ( merubah isi, konteks dan makna ) dan talbis ( mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan melalui penambahan dan pengambilan kesimpulan ) yang mereka sembunyikan denagn sengaja di dunia ini. Tipe seperti ini bisa seorang muslim dan non muslim (sebagian besar muslim liberal / moderat, pendeta dan orientalis bisa ditempatkan disini? )

0 comments: