Tuesday, January 06, 2009

Qur'an Aja Ahad Kenapa Hadis ahad Tidak Meyakinkan?

Ada dua cara untuk membaca AlQur’an ; dihafal dan dibaca. Dengan cara dihafal alqur’an menjadi terpelihara didalam hati manusia. Dengan cara dirulis alqur’an terjaga dengan adanya tulisan-tulisan tersebut. Kita dapa membacanya sesuai dengan keinginan kita dihafal dan dibaca.
Para shahabat mulai mengumpulkan ayat-ayat AlQur’an untuk dijadikan sebuah kitab – yang kemudian biasa disebut mushaf – ayat yang diklaim sebagai bagian dari AlQur’an tersebut haruis memiliki bukti tertulis dan tak tertulis.

1. tertulis
tertulis di pelepah kurma, tulang atau benda-benda lain saat itu dijadikan sebagai tempat untuk menulis.
2. tidak tertulis
ada dua orang shahabat yang hafal ayat tersebut

seluruh ayat yang dimasukkan (untuk menjadi AlQur’an) telah memenuhi dua criteria tersebut, kecuali ayat 23 dari surah al- ahzab

23. Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya),

Tidak terdapat bukti tulisan kecuali yang ada ditangan seorang shahabat. Jika mengacu pada peraturan saat itu (2 kriteria; tulisan + hafalan), ayat tersebut tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam mushaf AlQur’an.
Hal tersebut menjadi bukti penjagaan Allah SWT terhaddap AlQur’an. Saat itu hanya Khuzaimah bin Tsabit R.A yang hafal ayat ini. Ketika terjaddi peembedaan pendapat di kalangan shahabat (apakah ayat tersebut dimasukkan menjadi bagia dari mushaf AlQur’an atau tidak?) mereka teringat pernyataan Rosulullah SAW tentang sosok Khuzaimah bin Tsabit R.A, Rosulullah SAW pernah bersabda “barangsiapa oleh Khuzaimah seorang diri,maka persaksiannya tersebut telah mencukupi”
Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit R.A, ia berkata “ketika kami sedang menyalin mushaf AlQur’an, ternyata satu ayat dari surah al-ahzab hilang, namun tidak ada seorang pun shahabat yang hafal a\yat ini kecuali Khuzaimah bin Tsabit Al-Anshari RA ; seorang yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW, ‘jika Khuzaimah bin Tsabit bersaksi maka persaksiannya seorang diri sama dengan persaksian dua orang’.”
Rosulullah SAW telah memberikan keistimewaan kepada Khuzaimah dengan menjadikan persaksiannya yang seorang diri samadengan persaksian dua orang.
Kisahnya bermula ketika suatu hari Rosulullah SAW membeli seekor kuda dari orang arab. Setelah terjadi kesepakatan final dan Nabi SAW kembali ke rumahnya untuk mengambil uang pembayaran, ternyata si penjual kuda tersebut bertemu dengan beberapa orang-orang arab yang salah seorang dari mereka berniat membeli kuda tersebut (mereka tidak tahu kuda tersebut telah dibeli Rosulullah SAW). Penjual kuda tersebut lalu berkata kepada Nabi,”jika tuan tidak mau membelinya maka saya akan menjualnya.” Nabi menjawab,”bukankah tuan telah menjualnya kepada saya!” penjual kuda berkata,”apa betul saya telah menjualnya kepada tuan? Jika memang demikian, siapakah saksinya?” saat itu Khuzaimah RA angkat bicara dan berkata, “saya yang menjaddi saksi bahwa kamu telah menjualnya kepada tuan ini (Rosulullah SAW)”
Setelah permasahan jual beli tersebut selesai, Rosulullah SAW segera menemui Khuzaimah dan bertanya “bagaiman kamu dapat menyodorkan diri sebagai saksi padahal saat terjadi transaksi antara saya dengan penjual kuda tersebut kamu tak melihatnya?” Khuzaimah menjawab “saya menjadi saksi karena saya mempercayai tuan. Bagaimana mungkin kami mempercayai tuan atas semua berita yang tuan katakana dari langit kemudian kami tidak mempercayai tuan dalam masalah seperti ini?”
Setelah kejaddian tersebut Rosulullah SAW menjadikan Khuzaimah RA sebagai sosok yang persaksiannya seorang diri sama dengan persaksian dua orang.
Dengan demikian, selesailah usaha menyatukan lembaran-lembaran ayat AlQur’an – yang semula masih tercecer dan terpencar diantara shahabat – dalam bentuk sebuah mushaf. Sejak saat itu Khuzaimah bin Tsabit RA dikenal dengan gelar Dzu Syahadain (orang yang persaksiannya sebanding dengan persaksian dua orang).Rosulullah SAW yang memberikan kekhususan tersebut. Bagaimana Nabi dan Shabat Menafsirkan Al-Qur’an / Syaik Salman Audah.—Jakarta : Pustaka Azzam. h 15 – 18