Sunday, August 07, 2005

PLURALECTICA OF TRUTH CLAIM

Fenomena pluralitas keyakinan / agama membuatku ragu dan gelisah untuk merespon hakikat kebenaran. Sungguh akalku sangat membutuhkan suatu pemikiran yang dapat menerima doktrin yang sudah kadung menjadi suatu yang dogmatis yakni klaim bahwa hanya islam yang benar, hanya islam saja yang masuk surga, umat lain masuk neraka semua. Hal ini sulit kutelan mentah – mentah jika melihat fenomena betapa majemuknya kehidupan terutama pada tataran keyakinan / agama ini, hingga kuambil kesimpulan bahwa semua umat yang melaksanakan kebajikan akan masuk surga dan sama – sama menuju kebenaran yang satu. Dan surga itu terlalu sempit dan sepi jika hanya umat islam saja yang masuk surga, tidak adilkah jika allah menyiksa di neraka romo, pendeta, rabi dan umatnya ini yang baik .

Namun aku mencoba mengkompromikan segala kegundahan akalku ini dengan do ktrinitas islam yang katanya rasional, memuaskan hati, menentramkan jiwa yang menurut pemahamanku sangat eksklusif. Sungguh setelah kutelusuri khasanah keislaman yang membentang luas hingga kutakbisa raih semuanya, masih ada saja sesuatu yang menggumpal menjadi sebuah pertanyaan – pertanyaan yang cendeung membuatku ragu dan sesat secara normatif teologis dalam islam, tapi itu suatu yang fitrah manusiawi yang senantiasa akan terus bertanya – tanya akan eksistensinya dalam kehidupan. Hanya keimanan yang mampu meminimalisir segala kegundahan yang menyesatkan tersebut. Jika aku melihat dari sudut pandang islam akan tampak wujud kompromi yang sifatnya normatif maupun legalis fiqhiyah yang merupkan benang merah atas segala problem pluralitas.

Problem pluralitas agama bukanlah terletak pada klaim – klaim kebenaran masing – masing agama, biarlah hal itu menjadi sesuatu yang manusiawi, alamiah, esensi jati diri dan wujud ekspresi manusia dalam memenuhi naluri tadayyunnya ( menuhankan / mentaqdiskan sesuatu ). Semua agama dalam kondisi apapun harus diapresiasikan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini tidak boleh dinafikan atau disimplikasikan ataupun direlatifkan apalagi dinegasikan. Pluralitas agama adalah hakikat ontologis ( haqiqah kauniah ) yang genuine dan sunnatulloh. Islam memperlakukan agama lain secara adil dan membiarkan umat lain untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa reduksi, distorsi dan manipulasi klaim kebenaran yang absolut dan eksklusif, hal itu dilakukan agar jati diri dan indentitas sebuah agama tidak hilang. Intinya pengamalan masing – masing agama sesuatu yang harus dilakukan termasuk penggunaan simbol – simbol keagaamaan yang dianggap sakral. Jadi yang menjadi titik permasalahan dari problem atau konflik pluralitas keagamaan adalah siapa yang menjadi ”host culture” atau tuan rumah dari segala wujud / bentuk pluralita, tuan rumah yang senantiasa menerima, menaungi dan melayani / menjamu tamunya dari semua budaya yang ada didunia ( visiting plural / culture ). Jadi siapa yang layak menjadi tuan rumah yang menyajikan hidangan yang tepat bagi tamunya yang datang dari segala wujud perbedaan atau pluralitas baik itu agama, budaya, suku, bangsa, etnis dan ras yang berbeda – beda.

Islam dengan konsep – konsep teologis normatif dan legalis fiqhiyahnya sangat mengakui eksistensi praktis sosiologis dan antropologis ( IPS BANGET SI NEY :J !) Antar manusia yang memeluk agama, keyakinan dan tradisi yang sangat plural dan berbeda – beda . secara normatif dan teologis islam mengklasifikasikan pluralitas keagaamaan di dunia kedalam tiga kategori I) benar sepenuhnya, pada tataran ini hanya lah monopoli sialam semata, islam harus berdiri diatas semua agama – agama didunia dan islam tidak boleh disejajarkan dengan agama – agama lain didunia ini. II) benar sebagian , untuk kategori ini dibagi lagi kedalam dua sub bagian i) ahlu kitab, mereka ini mempunyai porsi yang spesial karena secara nasab dan geografis sangat dekat maka penegasannya lebih spesifik dan kategoristik. Imana kepada nabi dan rosul serta kitab wahyu mereka bagian integral dari rukun iman dalam islam. Islam mengindentifikasikan dirinya dengan mereka satu famili ibrahim dan satu tradisi dengan mereka yang tradisi semitik yang disebut hanifisme, meskipun pada akhirnya kedua agama tersebut ( kristen & yahudi ) telah bergeser menjadi tradisi agama budaya yang berdasarkan kitab wahyu ( injil & taurat ). Ada satu konsep yang menarik tentang mereka bahwa mengucapkan salam, hewan sembelihan ahlu kitab, perempuan ahlul kitab sesuatu yang boleh dan halal bagi muslim. Agama budaya yang penuh dengan kekeliruan dan keslahan dalam memahami dan menginterpretasikan teks – teks yang mereka yakini sebagai wahyu. ii) quasi – ahlu kitab yakni hindu, budha, zoroaster, taoisme, shinto & konfusianisme semua agama ini mengklaimkan mempunyai kitab suci tapi tidak ada bukti yang secara jelas dan periwayatan yang jelas bahwa kitabnya adalah wahyu. namun hal ini dapat dikompromikan bahwa ”fenomena kenabian adalah universal yakni terjadi di seluruh ruang waktu”. Dengan demikian seluruh umat manusia adalah umat yang satu ( ummatan wahidah ), setiap manusia / individu / kelompok pernah menjadi umat salah satu nabi dan rosul terdahulu, meskipun semuanya telah bergeser menjadi tradisi agama budaya yang salah dan sesat. III) dan kategori terakhir adalah sepenuhnya salah yang termasuk didalamnya agama – agama pagan penyembah benda – benda, animisme, dinamisme etc.
Adapun secara legalis fiqhiyahnya yang terperinci Islam mengatur individu – individu dan komunitas yang hidup dalam sebuah masyarakat yang berbeda secara agama dan budaya semuanya dianggap sama sebagai warga negara – dalam konteks historis dan normatif disebut khilafah islamiyah – yang merupakan tatanan global kenegaraan ( JADI INGAT BU DIEN EUY J!). Islam sangat memenuhi hak – haknya sebagai warga negara dan menerangkan kewajibannya ( bayar jizyah bagi yang mampu en kaya tapi klo miskin mah disubsidi ) serta menjaga kedamaian dan ketertiban umum. Inilah wujud praktis dari wihdatul ummatan wahidah yang beimplikasi mengidealiskan menjadi satu umat secara ikhlas atau setidaknya dominasi mayoritas yang toleran terhadap minoritas.

to be continued

PLURALECTICA OF TRUTH CLAIM II : episode lanjutan

Kontekstualitas problem pluralitas terletak pada siapa atau pihak mana yang mampu menaungi dan merangkul segala bentuk eksklusifitas truth claim ( klaim kebenaran ) berbagai agama di dunia dan toleran terhadap segala bentuk apresiasi ritualitas keberagamaan. Yang jelas pihak tersebut haruslah dari sesuatu yang universal yang bisa dijadikan “host culture”. Entah itu dengan konsep menyetarakan atau mecari titik temu agama – agama, melebur nilai – nilai agama agar sesuai dengan tuntutan modernitas, kedua konsep tersebut jelas menafikan dan mereduksi eksklusifitas masing – masing agama.adapun Islam ketika melihat fakta pluralitas lebih mengedepankan tiga solusi yang memuaskan akal, menentramkan hati dan sesuai dengan fitrah manusia serta bisa langsung diterapkan ( aplikatif ). Tiga solusi tersebut antara lain pertama secara teologis ( aqidah ) islam mengakui fenomena universalitas kenabian dan wahyu yang terjadi di seluruh ruang dan waktu dengan demikian seluruh umat manusia adalah satu
( wihdatul ummatan wahidah ), setiap manusia – individu atau kelompok pernah menjadi umat salahsatu nabi atau rosul terdahulu yang membawa esensi pesan ( dien ) yang sama yakni tauhid meskipun pada perkembangan selanjutnya warisan kenabian tersebut bergeser menjadi tradisi agama budaya, kedua secara akhlak ( moral ) Islam mengajarkan toleransi, saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan diantara manusia ( la ikrah fid dien ), yang ketiga secara legalis fiqhiyah daulah tertuang dalam konsep “khilafah islamiyah” yang terbukti secara historis dan normatif memberikan hak dan tuintutan kewajiban yang setara sebagai warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, etnis, wilayah geografis. Hak – hak tersebut antara lain hak melaksanakan kewajiban agamanya yang menyangkut keyakinan, ibadah ritual, pakaian, makanan dan minuman, hak keamanan atau perlindungan jiwa, harta dan kehormatan, hak mendapatkan pelayanan publik, hak mendapatkan keadilan dalam hukum, hak berpolitik atau menyuarakan aspirasi dan tuntutan hak – haknya yang terabaikan dalam majelis syuro, hak menjadi pegawai pemerintahan untuk jabatan – jabatan tertentu dan seterusnya. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada non muslim antara lain membayar jizyah bagi lelaki dewasa yang mampu bukan diambil dari orang tua, perempuan, anak – anak dan fakir miskin malahan mereka ini wajib diberi penghidupan yang layak dan disantuni oleh negara, kewajiban yang lainnya menjaga stabilitas negara / umum, larangan membuat keonaran dan seterusnya.


Tapi perlu digarisbawahi bahwa dalam Islam terdapat konsep normatif nasikh mansukh eksternal agama – agama nabi dan rosul terdahulu artinya islam (nasikh = penghapus / pembatal ) menghapus atau membatal syari’at dan minhaj ( agama ) nabi dan rosul terdahulu
( mansukh = obyek yang dibatalkan ), hal ini berlaku ketika muhammad diangkat menjadi nabi dan rosul hingga dunia ini berakhir / kiamat. Proses nasikh mansukkh adalah sesuatu yang alami, sunnatulloh mengikuti perkembangan zaman dan sebagai pembaharuan syari’at nabi dan rosul terdahulu yang tel;ah ditahrif
( dirancukan ), ditalbis ( dicampur adukkan antara kebenaran dan kepalsuan ) dan ditahdil ( dirubah ) hingga pada perkembangan selanjutnya warisan kenabian tersebut bergeser menjadi tradisi agama budaya. Oleh karena itu Islam mengajak umat lain untuk menjadi muslim seutuhnya / kaffah dan bersama - sama mewujudkan wihdatul ummatan wahidah serta meninggalkan kesesatan yang mereka lakukan. Apabila mereka memeluk islam, mereka samasekali tidak tidak mengubah agama mereka karena memang hal itu merupakan bagian dari agama mereka yang memerintahkan beriman kepada kerasulan muhammad dan menganut syari’ahnya dan bahwa rislah muhammad untuk semua manusia. Maka dari itu tidak seorang pun penganut agama menukar ketaatan agamanya jika dia memeluk Islam. Ibaratnya ajaran nabi terdahulu ibarat sesuatu proses konstruksi suatu bangunan dan Muhammad adalah peletak pondasi terakhir dari bangunan tersebut. Siklus nasikh mansukkh yang ideal ini berjalan secara alami dan perlahan diawali dengan membuminya islam sebagai “host culture” dengan memberikan kemulian dan kedamaian kepada manusia hal ini akan dengan sendirinya mengidealiskan diri menjadi dominasi mayoritas yang toleran terhadap minoritas dan menghegemoninya peradaban islam hingga akhirnya mencapai tataran idealnya yakni wihdatul ummatan wahidah ( umat yang satu ), proses ini berjalan secara automatically, alamiah, sunnatulloh dan tidak ada paksaan dan umat lain telah melihat / tampak jelas dan nyata kebenaran dan kemulian islam hingga mereka berbondong – bondong dengan ikhlas melafalkan “ laailaa ha illallah muhammadarrosullah”.


Jadi kesimpulan akhirnya ketika Islam telah berinteraksi dengan agama lain dan kebenaran sudah tampak jelas dihadapan mereka namun masih saja saling berbantahan dan tidak menerima kebenaran Islam serta tidak menjadikan mereka muslim maka umat islam tidak akan bersikap menghakimi dan membinasakan mereka tapi akan bersikap berserah diri kepada keputusan allah di hari pembalasan kelak dan bersikap menjadi “host culture” yang baik dan toleran yang lahir dari keyakinan total bahwa islam berada di pihak yang benar, perlu dipertegas kembali bahwa kafir adalah dien atau keyakinan selain islam, kafir tempatnya di neraka apabila kebenaran islam sudah tampak jelas nyata diserukan kepada mereka tetapi kemudian mereka meyakini dalam hati dan mengetahui kebenaran islam seperti mengenal anak mereka sendiri tapi karena ego, harta, kekuasaan dan kesombongan mereka malah menyembunyikan kebenaran tersebut dan bersikap destroyer terhadap islam, orang – orang kafir seperti inilah yang kekal di neraka.
Kembali ke masalah pluralitas agama yang masing – masing umat non muslim masih tetap setia dengan agamanya setelah islam sudah sedemikian eksis dengan believers dan ajarannya mereka ini terpecah menjadi beberapa golongan, meskipun kesimpulan ini sangat kompromistis, spekulatif dan bersifat transendent ( diluar jangkauan akal, pengetahuan dan pengalaman manusia ). Golongan itu antara lain
a. umat non muslim / golongan yang tidak pernah berinteraksi dengan islam atau tidak memiliki pengertian dan pemahaman yang memadai tentang muhammad dan islam, orang – orang seperti ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan walaupun mereka mempraktekkan kekeliruan dan kesesatan agama mereka
b. umat non muslim golongan yang telah mengenal islam dan muhammad tapi karena kerancuan yang disebabkan pemimpin – pemimpin agama mereka yang tidak saja menentang kebenaran islam dan muhammad tetapi juga menyembunyikan hakekat kebenaran islam. Golongan ini ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan karena mereka disembunyikan, dirancukan dari hakekat kebenaran islam dan muhammad.
c. umat non muslim / golongan yang senantiasa mencari dengan tekun dan bekerja keras mencari kebenaran dengan kapasitas kemampuannya yang cerdas dan telah berinteraksi dengan islam tapi hal itu sama sekali tidak memuaskan akal dan pikirannya hingga pada akhirnya orang tersebut tidak sampai pada hidayah atau kebenaran islam maka orang seperti ini ada kemungkinan diampuni dan dimaafkan oleh allah. Tipe seperti ini bisa seorang muslim dan non muslim yang ragu dan dia mencari kebenaran islam (sebagian kecil muslim liberal / moderat dan orientalis bisa ditempatkan disini? )
d. golongan yang mengetahui kebenaran islam dan muhammad seperti mengenal anak mereka sendiri tapi karena ego, harta, kekuasaan dan kesombongan mereka malah menyembunyikan, menekan, menentang dengan cara merancukan pemikiran dan pendustaan tentang islam dan nabi muhammad SAW dan bersikap destroyer terhadap islam. Golongan seperti inilah yang kekal dineraka kelak sebagai imbalan atas dosa tahrif ( merancukan isi, konteks dan makna ), tahdil ( merubah isi, konteks dan makna ) dan talbis ( mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan melalui penambahan dan pengambilan kesimpulan ) yang mereka sembunyikan denagn sengaja di dunia ini. Tipe seperti ini bisa seorang muslim dan non muslim (sebagian besar muslim liberal / moderat, pendeta dan orientalis bisa ditempatkan disini? )