Thursday, September 21, 2006

ALL ABOUT HADIST AHAD

A. Khobar (hadits) Ahad adalah Dzanni ??
Para ulama tidak pernah menggunakan kata ragu atau yang lebih mereka kenal dengan “Dzan” yang memiliki 2 makna yang berlawanan. Kata “Dzan” kadang-kadang bermakna kesalahan dan kadang-kadang bermakna pujian.
“ Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhoi.” (QS.Al Haqqah,69:20-21)
Di sini Allah menggunakan kata “Dzan” sebagai suatu sinonim untuk masalah keimanan di hari pembalasan nanti yang mana sesungguhnya ini merupakan masalah keimanan yang pasti.
“…Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS.At Taubah, 9:118).
Sekali lagi, Allah memuji dengan kata “Dzan” atas 3 orang shohabat yang ditinggalkan oleh Rosulullah saw.dan Shohabat-shohabatnya sebagai hukuman karena tidak memenuhi panggilan Jihad.
“ (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.Al Baqarah,2:46)
Sekali lagi, Allah menggunakan kata “Dzan” untuk penggantian terhadap masalah keimanan yang pasti di hari pembalasan nanti.
“ Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata:” Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan yang banyak dengan izin Allah.” (QS. Al Baqarah, 2:249)
Sekali lagi, Allah menggunakan kata “Dzan” untuk suatu masalah yang pasti dan tidak ada keraguan dalam masalah ini. Pertayaan yang mesti diajukan, apakah pemahaman atas kata “Dzan” ini digunakan untuk orang-orang musyrik (musyrikin) direkomendasikan untuk mengikuti dan kaum muslimin dipuji bagi mereka yang menyakininya?
Kata ”Dzan” ketika digunakan untuk kesalahan, kedudukan berada pada makna sebuah keragu-raguan, ketidakpastian juga dalam hal kutukan yang ada dalam pandangan syari’ah baik dalam masalah keimanan maupun perbuatan.

Tetapi ketika “Dzan” yang berisi pujian, maka berhubungan dengan aqidah sebagai suatu hal yang pasti. Hal inilah kenapa para ahli bahasa Arab memulai Adz dzann Shakkun wa Yakin” (artinya Adz Dzan bermakna keragu-raguan dan kepastian), lihatlah dalam Lisanul Arab 13/272 dan An-Nihayah 3/163).
Kemudian “Dzan” digunakan dalam Al-Qur’an untuk pujian bagi orang-orang yang beriman yang dikenal dengan “Dzan Ar-Rajih” (Dzan yang bermakan kebenaran) yang menghantarkan pada ilmu dan keyakinan, sedangkan “Dzan” yang bermakna kesalahan dikenal sebagai “Dzan Al-Marjuh” yaitu berarti keragu-raguan dan perkiraan.
Oleh karena itu “Dzan” disebutkan oleh ulama terhadap hadist-hadist Ahad adalah Dzan Ar-Rajih (Dzan yang bermakna kebenaran), inilah kenapa semua ulama-ulama yang kamu telah sebutkan di atas menerima khobar ahad dalam masalah aqidah, walaupun dalam khobar ahad adalah Dzanni, maka harus dilihat penjelasan yang akan dipaparkan kemudian.
Al-Hafidh Ibnu Abdil-Bir berkata:” Apa kita mengatakan bahwa Hadist Ahad mengharuskan pada perbuatan tetapi tidak diyakini, seperti halnya satu orang saksi dari 2 orang saksi atau 4 orang saksi adalah sama. Atas landasan ini hampir semua ahli Fiqh dan Atsar (ucapan Shahabat) dan semua dari mereka menerima pembenaran khobarul waahid dalam masalah Al-I’tiqaadat (Aqidah/keimana) dan tidak menolaknya serta berusaha melestarikan khobar ahad dan memakainya dalam sebuah bagian dalam beragama yaitu dalam aqidah mereka. Inilah pendapat yang dibangun oleh jama’ah Ahlus Sunnah” (At Tamhid 1/8).
Kedua, Katakanlah sebagai argumen, pada khobar ahad yang menunjukkan arti keragu-raguan, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS.Yunus, 10:36),
Kemudian dari manakah HT menjadikan dalil untuk membatasi ayat ini hanya pada makna keragu-raguan dalam aqidah dan bukan pada perbuatan? Apa bukti yang dapat mereka berikan untuk membatasi ayat ini hanya pada masalah aqidah tetapi seseorang mengambilnya (mengambil khobar ahad) dalam masaslah perbuatan (syari’at)? Padahal ayat ini bersifat ‘aam tanpa adanya pembatasan dan jika seseorang hendak memakai Taqyid seharusnya mengedepankan teks syar’i lainnya untuk mendukungnya sebagaimana yang diketahui dari aturan-aturan ushul fiqh. Hal ini membuktikan bahwa HT memisahkan masalah aqidah dan syari’at (irja’) yang mana Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempersatukan antara aqidah dan syari’at (talazum

B. khobar ahad $ iman kepada yang ghaib
Bahwa mereka tidak menerima “Khobarul Ahad” (hadits ahad) dalam masalah aqidah dan inilah sebab mereka berbeda dengan Ahlus Sunnah dalam masalah aqidah karena Ahlus Sunnah menjadikan hadits ahad tersebut (Khobarul Ahad) sebagai prinsip yang penting dalam aqidah jadi karena itulah mereka tidak menerima perkataan/penyampaian Rosul dalam beberapa persoalan yang dijelaskan melalui khobarul ahad,
sebagai contoh dalam masalah siksa kubur, mereka tidak beriman juga dalam masalah Dajjal. Mereka juga tidak beriman dalam masalah turunnya Al-Masih dan mereka tidak beriman dalam banyak persoalan yang telah disebutkan dalam hadits ahad. Hal ini dikarenakan, mereka meragukan keaslian (kebenaran) hadits-hadits ahad yang telah diriwayatkan secara baik oleh perawi-perawi yang adil dan dapat dipercaya, para perawi yang berperan sebagai sumber berita yang berasal dari generasi awal hingga generasi terakhir dari mereka (yaitu generasi Tabi’in) dan tidak ada pertentangan mengenai hal ini, tidak ada kelemahan yang tersembunyi dan hadits-hadits yang mereka bawa (hadits ahad) dan telah memenuhi 5 syarat untuk mencapai pada tataran ilmu.
Sedangkan terhadap apa yang mereka (HT) katakan untuk hadits ahad hanya menghantarkan pada “zhan” maka tanggapan terhadap hal ini secara detail dapat kita temukan dalam buku saya (Sheikh Halim Al Hilaali) yang berjudul:”Al Adillah Wash Shawaahid Fi Wujub Al Akhdh Bi Khobarul Waahid Fil Ahkam Wal ‘Aqaaid” dimana menyebutkan dalil-dalil yang mereka (HT) gunakan dalam buku mereka “Ad Dusiyah” dan saya telah menanggapi mereka secara detail, beliau berharap siapa saja bisa mempelajari secara mendalam dan menjadikannya sebagai rujukan. Saya berdo’a kepada Allah semoga buku tersebut bisa bermanfaat bagi kaum muslimin.

Pertanyaan: Mereka mengatakan:”Saya menerima hadits-hadits shohih Bukhari tetapi saya tidak mengimaninya.”Apa seharusnya respon kita dan sikap kita terhadap orang-orang seperti ini?”
Jawaban: Teks yang mereka ucapkan persis sebagaimana keterangan yang ada pada buku mereka yang berjudul “Ad-Dusiyyah” yang membahas tentang hadits-hadits (ahad tersebut) sebagai contoh sebuah cuplikan :
” Ketika seseorang dari kamu menyelesaikan tasyahud akhir kemudian dia berkata (doa), ‘Ya Allah, Aku berlindung kepad-Mu dari siksa kubur dan siksa api neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian serta fitnah Dajjal.”
Mereka berkata:” Saya melakukan perbuatan ini sesuai dengan pengetahuan (ilmu). Lantas, perkataan mereka kita sanggah dengan suatu pertanyaan terhadap mereka: ”Bagaimana kita melakukan suatu perbuatan tanpa mengimani (mempercayai) perbuatan tersebut? Ini sungguh suatu kegilaan karena ini suatu hal yang bertentangan. Bagaimana bisa kamu menegaskan dalam perkataan tanpa mengimaninya? Ini sungguh tidak rasional (tidak berpikiran sehat). Sama saja kamu mengatakan:‘”Saya berkata dengan lisanku dan melakukannya tanpa mengimaninya dalam hatiku.” Mereka tidak beriman dengan adanya siksa kubur, mereka tidak beriman terhadapnya tetapi mereka mengatakan: kami melakukannya.

Pertanyaan: Ada hadits-hadits autentik (asli) yang lain tentang siksa kubur, dimanakah diantara mereka yang bukan hadits-hadits ahad?
Jawaban: Tentu saja mereka bertanya demikian karena mereka tidak beriman (terhadap hadits ahad). Dalam “Mutawatir Al-Ma’nawi“(hadits yang maknanya mutawatir), Mutawatir dalam pengetahuan hadits ada 2 kategori:

· Mutawatirul Lafdi (kata-kata dalam hadits yang mutawir) seperti dalam hadits, :

”Barangsiapa yang berbohong melawanku maka ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka”.

· Mutawatirul Ma’nawi (yaitu hadits-hadits yang berbeda dalam kata-katanya tetapi sama maknanya) seperti hadits tentang turunnya Nabi Isa alaihissalam, banyak hadits yang memberitakan tentang hal tersebut tidak dengan satu kata-kata yang sama, akan tetapi setuju pada satu fakta (satu makna) yaitu turunnya Nabi Isa, datangnya Dajjal, datangnya Imam Mahdi ‘alahissalam, semua hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad, jika mereka setuju dalam pengertian dan maknanya sepanjang mereka tidak dilaporkan dengan jalur ahad berarti mereka tidak mengakui Mutawatirul Ma’nawi. Oleh karena semua sunnah adalah ahad kecuali sebagian kecil saja.akan tetapi apakah kita mungkin bertanya: Apakah mutawatir dari itu? Kemudian mereka tidak bisa menjawab. Lantas berkata dengan perkataan ini:” Kami menerimanya tetapi tidak mengimaninya”. Perkataan tersebut adalah suatu perkataan yang kontradiksi dan tidak mungkin, sebagaimana perkataan:” Keburukan dari sesuatu yang tidak mungkin adalah membawa hal yang bertentangan dalam satu waktu, seperti mengatakan,”Ini adalah malam dan siang” Dua hal yang bertentangan terjadi pada satu waktu adalah suatu yang tidak mungkin.”Ini hidup dan mati”, kamu menerimanya dan kamu tidak mempercayainya (mengimaninya).” Dimana ada aqidah/keimanan (I’tiqad) adalah suatu keyakinan yang pasti seperti yang mereka ucapkan dengan kebenaran fakta yang dilandaskan atas bukti dan tanda-tanda yang jelas.” Bagaimana mungkin kamu mengatakan bahwa kamu menerimanya kemudian mengatakan kamu tidak pasti dalam perkara tersebut maka ini bukan suatu penerimaan akan tetapi keragu-raguan dan ketidakpastian.
Mereka berusaha menggunakan dalil untuk perkara ini terhadap khobarul ahad yang hanya menghantarkan pada zhan (keragu-raguan) dengan mengutip sebuah ayat yang berbunyi:
“ Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang mereka ingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS. An Najm,53:23).
“ Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm,53:28)
Bagaimanapun “zhan” yang disebutkan disini adalah “zhan” yang tidak benar (bukti) yang salah, dan ini dihubungkan dengan khabarul ahad sebagai bukti berdasarkan hukum syari’ah dan khobarul ahad adalah informasi yang mengandung kemungkinan salah (zhan), sehingga mereka tidak beribadah kepada Allah dilandaskan atas khobarul ahad yang mereka anggap masih berupa persangkaan dan menyimpan keragu-raguan padahal pembenaran zhan ini adalah ada pada tingkatan yang pasti sebagaimana firman-Nya:
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.” (QS,.At Takaatsur,102:3-5).

Tingkatan pengetahuan yang dimaksud disini adalah sampai pada yakin (pasti).

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan “’Ainul Yaqin, Kemudian kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takaatsur,102:6-8).

Jadi antara pengetahuan (ilmu) yang pasti (‘ilmul Yaqin) dan ‘Ainul Yaqin adalah derajat (tingkatan) keilmuan yang telah disebutkan Allah pada akhir surat Al-Haaqah.
”Haqqul Yakin”, kita memiliki 2 istilah :
a) ‘ilmul Yaqin
b)’Haqqul Yaqin

yang memiliki tingkatan tetapi keduanya berakar pada satu, yaitu ‘ilmu. Jadi sumber yang datang dari Rasulullah saw. dikatakan autentik (asli) harus memenuhi syarat-syarat :
1. Mata rantai perawi yang tidak terputus
2. Dapat dipercaya
3. Perawi tepat (daya ingat tajam/bukan pelupa)

(tidak ada ada pertentangan, keberadaanya telah diterima (diakui) oleh perawi yang lain) dan tidak memiliki kecacatan yang tersembunyi sebagai seorang perawi, kemudian baru kita ketahui bahwa dia (perawi) adalah seorang yang sempurna dalam hal penyampaian berita (matan hadits), akan tetapi kita bisa menguji dan mengecek hadits tersebut.
Syarat-syarat inilah yang membawa pengetahuan kepada kita, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa itu hanya menghantarkan pada zhan. Zhan yang mana yang dimaksudkan itu? Benar atau zhan yang bermakna pasti atau zhan yang bermakna tidak pasti. Kemudian mereka akan mengatakan zhan yang bermakna benar (pasti) Kita bisa katakan, : ”Ini adalah sumber dari masalah aqidah (keimanan) sebagaimana firman Allah swt. :
“(yaitu)orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya.” (QS.Al Baqarah,2:46).
Kata ”zhann” disini digunakan dengan makna keimanan pada satu prinsip keimanan yaitu beriman pada hari akhir, sebagaimana firman Allah,
” Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.”(QS. Al Haaqah,69:20).
Dalam ayat tersebut menggunakan kata ”zhann” dan ini dikutip dalam pujian terhadap-Nya,dia (dalam ayat tersebut) adalah seorang yang beriman (begitupun juga ayat berikut):
“Mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS.At Taubah,9:118)
Dalam pemberitaan tersebut diingatkan kembali tentang “zhan” dengan makna I’tiqad (keimanan pasti). Jadi maksudnya adalah keimanan.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.Ash Shaff, 61:3).

Kesimpulan
Setelah membawa diskusi penting ini, kita berharap hal itu dapat ditinggalkan secara pasti, yaitu :
Ø Makna dari hadits ahad
Ø Bahaya tidak menggunakan hadits ahad untuk menegakkan permasalahan aqidah, hal seperti itu adalah klaim dari beberapa jama’ah yang menyimpang.
Ada banyak jama’ah yang mengklaim bahwa mereka memperjuangkan Islam. Akan tetapi ketika dalam pembelajaran mereka diselidiki ditemukan sebuah kenyataan bahwa mereka sesungguhnya jauh dari jalan yang lurus, jadi ini menggambarkan secara jelas bagi kita bagaimana sebenarnya jama’ah tersebut sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw.

Kedatangan (munculnya) jama’ah-jama’ah ini bukanlah suatu yang mengejutkan sebab Rasulullah saw. telah memprediksikan bahwa ummat ini akan terpecah menjadi banyak golongan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
” Ummat Yahudi terbagi menjadi 71 golongan dan ummat Kristen terbagi menjadi 72 golongan, Ummatku akan terbagi menjadi 73 golongan yang berbeda, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan dari mereka, yaitu siapa saja yang mengikuti aku dan shhabat-shhabatku pada masa ini.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini seharusnya menjadi benteng kita dan kehati-hatian kita terhadap keberadaan jama’ah yang ada serta membuktikan terhadap kita bahwa jama’ah-jama’ah yang menyimpang beserta pengikut-pengikut mereka akan melebihi dari jumlah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar.
Ini adalah kewajiban setiap orang untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran Islam. Kita nasehatkan pada siapa saja yang terperangkap ke dalam keimanan yang tidak menggunakan hadits ahad sebagai substansi bagian dari aqidah maka berupayalah untuk merujuk kepada keimanan generasi terbaik yaitu generasi shahabat Rasulullah saw. dan generasi yang mengikuti mereka. Pada keimanan shahabat dengan keimanan mereka, maka tidak ada keraguan bahwa mereka akan menemukan keimanan para shahabat dan orang-orang yang mengikutinya secara total berbeda dengan orang-orang yang mengambil prinsip-prinsip bid’ah.
Semoga Allah menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus, menolong kita untuk melihat dengan jelas (jalan yang lurus itu) dan membantu kita agar kita senantiasa bisa menapaki jalan yang lurus itu. Amien.

MUJAHIDEEN DIARY

Jihad : Jihad tanpa adanya khilafah tetap diwajibkan secara historis para shahabat, tabiin, tabiit tabiin yang dikenal generasi salafussaleh serta generasi khalaf yang mengikuti manhaj salaffushaleh pernah berjihad Qital tanpa adanya pemimpin
1. Abu Bashir dan orang-orang yang bergabung dengannya dari kalangan sahabat yang mulia – disebabkan butir-butir perjanjian Hudaibiyyah yang menghalangi mereka dari bergabung dengan Nabi saw di Madinah – mereka membegal kafilah-kafilah Quraisy dan memerangi kaum musyrikin tanpa izin atau perintah dari Nabi saw, dan pada waktu yang sama beliau tidak mengingkari mereka atas jihadnya itu padahal mereka melakukan jihad tanpa izin imam yang mana ia adalah sosok beliau yang penuh berkah saw.
kisah shahabat Abu Bashir ketika ia berhijrah, lalu orang-orang Quraisy menuntut Rasulullah untuk mengembalikan Abu Bashir kepada mereka berdasarkan syarat dalam perjanjian Hudaibiyah. Abu Bashir meloloskan diri dari mereka setelah membunuh dua orang musyrik yang datang untuk membawanya. Ia kembali ke pantai ketika mendengar Rasulullah bersabda :وَيْلُ أُمِّهِ مُسْعِرُ حَرْبٍ لَوْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ“ Duhai ibunya, ia bisa menyalakan peperangan seandainya bersamanya ada orang lain.”Maka Abu Bashir menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Ia merampas dan membunuh. Ia independen memerangi mereka tanpa Rasulullah, karena mereka terlibat perjanjian gencatan senjata dengan Rasulullah. –Beliau menceritakan kisahnya secara panjang lebar--- Apakah Rasulullah bersabda kepada mereka (Abu Bashir dan kawan-kawan),” Kalian telah berbuat salah karena memerangi orang Quraisy tidak bersama imam ?
2. Pada perang Mu’tah, Rasulullah mengangkat tiga komandan jihad : Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Tholib dan Abdullah bin rowahah. Jika Zaid terbunuh, maka yang menggantikan adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah menjadi penggantinya. Ketika ketiga komandan terbunuh, seluruh anggota pasukan sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan jihad, padahal Rasulullah sebagai kholifah sama sekali tidak menunjuknya sebagai komandan keempat. Meski seluruh anggota pasukan tidak meminta persetujuan kholifah terlebih dahulu, Rasulullah ridho dengan perbuatan mereka dan bahkan menggelari Kholid dengan gelar saifullah.[ Fathul Bari 7/654]
Imam Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini ada dalil kebolehan mengangkat komandan dalam sebuah pertempuran meski tanpa ta’mir (pengangkatan dari kholifah). Imam Ath Thohawi mengatakan,” Hadits ini menjadi pokok landasan bahwa kaum muslimin harrus mengangkat seorang di antara mereka sebagai pengganti imam (kholifah) jika imam (kholifah) tidak ada sampai imam hadir.”
Ibnu Hajar berkata,” Imam Ibnu Munir berkata,” Disimpulkan dari hadits dalam bab ini bahwa orang yang ditunjuk memegang wilayah (kepemimpinan) sementara sulit untuk kembali (meminta persetujuan/pengangkatan—pent) terlebih dahulu kepada imam (kholifah), maka kepimpinan orang tersebut kokoh secara syar’i dan secara hokum ia wajib ditaati.” Demikianlah perkataan beliau, dan tidak tersembunyi lagi bahwa hal ini bila seluruh yang hadir telah sepakat mengangkat orang tersebut.”
Ibnu Qudamah berkata,” Jika imam tidak ada maka jihad tidak boleh ditunda karena maslahat jihad akan hilang dengan ditundanya jihad. Jika mendapat ghanimah maka orang yang mendapatkannya (berperang) membaginya sesuai aturan syar’i. Al Qadhi berkata,”Pembagian budak perempuan diakhirkan sampai adanya imam sebagai tindakan kehati-hatian karena berhubungan dengan hak biologis. Jika imam mengutus pasukan perang dan mengangkat seorang amir lalu ia terbunuh maka pasukan mengangkat seorang di antara mereka sebagai amir sebagaimana telah dilakukan para shahabat dalam perang Mu’tah ketika para amir yang diangkat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam terbunuh. Mereka mengangkat Khalid bin Walid sebagai amir, lalu berita itu sampai kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam maka beliau meridhai hal itu dan membenarkan pendapat mereka, lalu saat itu beliau menyebut Khalid sebagai saifullah.” [Al Mughni 13/17]
3.Banyak para sahabat dan tabi’in telah melewati fase qital dan jihad tanpa ada khalifah, seperti Az Zubair Ibnul ‘Awwam, Mu’awiyah, Amr Ibnul ‘Ash, Al Husen Ibnu Ali, Abdullah Ibnu Az Zubair dan para sahabat lainnya ra.
4.jihad dan qital Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – rh – terhadap orang-orang kafir Tattar dan yang lainnya dari kalangan Zanadiqah bathiniyyah pada masa kefakuman Khalifah dan dalam waktu dimana para penguasa lari dari memikul tanggung jawab mereka terhadap rakyat dan negerinya…!!
Masa kekosongan kholifah selama tiga tahun antara tahun 656 H ( tahun terbunuhnya kholifah Al Musta’shim di Baghdad di tangan tentara Tartar) sampai tahun 659 H (diangkatnya kholifah Abbasiyah pertama di Mesir). Meskipun tidak ada kholifah, kaum muslimin tetap menerjuni kancah jihad yang namanya paling harum sampai hari ini yaitu perang ‘Ainu jaluth tahun 658 H melawan tentara Tartar. Jihad tetap mereka kerjakan tanpa kebingungan,” Bagaimana kita harus berjihad padahal kholifah tidak ada?”. Sederet ulama besar masa itu hidup seperti sulthanul ulama’ syaikh Izzudin bin Abdu Salam dan Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah, mereka mendukung sepenuhnya dengan fatwa dan keikut sertaan nyata di medan jihad. Bahkan komandan jihad umat Islam saat itu yaitu Saifudien Quthz mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir dan ia memecat anak penguasa Mesir sebelumnya yang masih anak-anak. Seluruh qadhii dan ulama menyetujui dan membaiatnya, bahkan imam Ibnu Katsir menyebut peristiwa ini sebagai nikmat Allah kepada kaum muslimin karena dengan izin Allah, Saifudin Quthz menghancurkan tentara Tartar.[ Al Bidayatu wan Nihayatu 13/258, At Tarikhu Al Islamy 7/31-31, karya Mahmud Syakir.] Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut pasukan Islam yang berjihad melawan Tartar di Mesir dan Syam inilah, kelompok umat Islam yang paling berhak masuk dalam golongan thoifah manshurah[Majmu’ Fatawa 28/531]. Bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.” Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…"
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya."
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku." Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam. Firman Allah Ta’ala :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menetapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [QS. Asy Syura :21].
5. Dan begitu juga jihad dan qital Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab – rh – terhadap kaum musyrikin dari kalangan ‘Ubbadul Qubur dan yang lainnya tanpa khalifah dan tanpa izin dan perintah darinya, dan beliau atas hal itu telah direstui oleh seluruh ulama Jazirah Arab – rahimahumullah ta’ala – dan mereka tidak mengingkarinya atas keberadaan beliau berperang tanpa khalifah dan imam.
Barangkali ada yang menyanggah hadits perang Mu’tah dan keterangan imam Ath Thohawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Munir, Ibnu Hajar dan asy Syaukani di atas dengan mengatakan bahwa pada perang Mu’tah masih ada kholifah, yaitu Rasulullah sementara umat Islam saat ini sama sekali tidak mempunyai kholifah. Serta argumentasi bahwa memerangi kholifah hanya terjadi ketika adanya khilafah yang kholifahnya secara jelas – jelas menampakkan kekufuran yang nyata sedangkan pemimpin – pemimpin yang sekarang bukan dalam frame kekhilafahan islam tapi penguasa muslim yang memegang kendali kepemimpinan umum dengan undang – undang thogut, jadi menrut mereka kita harus memperlakukan kondisi sekarang seperti halnya dengan fase mekkah, yang didalamnya tidak ada perang.
Adapun sanggahannya sebagai berikut
A. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penguasa yang menjalankan pemerintahannya dengan selain syari’at Islam di berbagai nageri kaum muslimin. Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Dan juga firman Alloh:
“Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka.
Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka.
ayat ini merupakan nas secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Ubadah bin Shomit tentang ba’iat para shahabat kepada Rasulullah, diterangkan :
“…dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”[ HR. Bukhari Kitabul Fitan no. 7056, Muslim Kitabul Imarah no. 4771.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi akan mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”[ Fathul Bari 13/154.]
Jika seorang kholifah telah kafir, maka kepemimpinannya gugur secara syar’i dan umat Islam wajib berjihad menjatuhkannya dan mengangkat kholifah yang baru berdasar ijma’ ulama, seperti yang disebutkan oleh qadhi Iyadh, imam An Nawawi[14] dan Ibnu Hajar. Lantas apakah kita akan mengatakan kita tidak akan memberontak kepada kholifah yang kafir karena kita tidak mempunyai kholifah ? Dari mana kita mempunyai kholifah kalau kholifahnya sendiri telah kafir dan kita berkewajiban melawannya ? Ataukah kita harus menunggu sampai turun kholifah yang ghoib dan membiarkan kaum muslimin dalam fitnah kekafiran dan kerusakan ? Hadits ini jelas dengan tegas menyatakan wajibnya berjihad melawan kholifah yang telah kafir. Bagaimana kaum muslimin berjihad melawan kholifah yang kafir padahal mereka tidak mempunyai kholifah ? Jawabannya secara syar’i adalah apa yang dicontohkan oleh para shahabat pada perang Mu’tah dan disetujui bahkan dipuji oleh Rasulullah, yaitu mengangkat salah seorang di antara mereka yang mempunyai kemampuan untuk memimpin jihad.
B. Rasulullah telah menyebutkan dalam hadits yang mutawatir tentang keberadaan thoifah manshurah yang senantiasa berjihad di atas kebenaran sampai hari kiamat, sementara di sisi lain Rasulullah juga menyebutkan akan adanya zaman dimana kaum muslimin tidak mempunyai kholifah.[ Seperti hadits Hudzaifah bin Yaman HR. Bukhari (Fathul Baari 13/39), Muslim Kitabul Imarah (Syarhu Shahih Muslim 12/198),.Al Baghawi (Syarhu Sunah 15/14, Ibnu Majah no. 3979, Ahmad 5/399.] Jelas sekali berdasar hadits mutawatir ini, bahwa jihad fi sabilillah akan senantiasa berjalan sampai hari kiamat nanti meski kholifah tidak ada. Saat itulah kaum muslimin akan mengangkat seorang di antara mereka sebagai pemimpin jihad sebagaimana dikerjakan para shahabat pada perang Mu’tah dan saifudin Quthz pada perang ‘Ainu Jaluth. Bahkan tidak adanya kholifah merupakan salah satu faktor pendorong jihad untuk mengangkat seorang kholifah yang menegakkan dien dan mengatur dunia berdasar syariat Islam. Jalan selamat yang diterangkan oleh hadits mutawatir adalah setiap muslim berjihad bersama thoifah manshurah. Bila tidak, ia akan termasuk thoifah mukhodzilah atau bahkan thoifah mukholifah (kafir). Naudzu Billah. Seberapapun banyaknya syubhat yang disebarkan oleh thoifah mukhodzilah dan seberapapun besarnya makar yang dilancarkan oleh thoifah mukholifah, thoifah manshurah akan menang sampai hari kiamat nanti.
C. Seorang muslim diwajibkan untuk terikat dengan semua hukum-hukum Islam, itulah konsekuensi diri sebagai seorang muslim, jika dia tidak melakukannya maka dia akan dihukum sesuai dengan syari’ah. Seseorang yang meninggalkan sholat maka dia akan dibunuh jika dia tetap ada dalam keadaan meninggalkan kewajiban tersebut dan tidak mau bertobat, orang yang tidak mau membayar zakat akan mendapatkan teguran dan itu dilakukan atasnya dengan kekuasaan. Adapun bagi dosa zina, maka jika dia seorang yang baligh dan sudah menikah maka dia akan dirajam sedang yang belum menikah maka dia akan dicambuk. Seorang pemabuk akan dicambuk 80 kali. Sebagaimana syari’ah telah mengatur hukuman bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang dilarang.
Ini adalah respek terhadap kapasitas individu yang keluar dari kewajibannya. Bagi orang-orang yang tidak terikat dengan hukum-hukum Islam dan melakukan pelanggaran terhadap kekuasaan maka dia juga akan diperangi. Imam Malik berkata, “ Setiap orang yang tidak terikat dengan kewajiban atas kewajiban-kewajiban Allah Yang Maha Tinggi dan seorang muslim yang tidak melaksanakannya maka kewajiban atas kaum muslimin untuk memerangi mereka sampai mereka bertobat”. (shohih Muslim oleh An Nawawi (12/229).
Jadi jika kapasitasnya sebagai penguasa rezim yang menerapkan hukum thogut dan dia mempunyai syaukah untuk mempertahankannya status quonya maka tiada jalan lain selain memberontak, berperang untuk menggantinya dengan penguasa yang taat syari’at islam.
D. Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Marfu’an: “Jihad terus berlangsung semenjak Allah memerintahkan hanya kepadaku hingga masa terakhir ummatku berperang mengemban misi anti nasrani, itu tidak akan dibatalkan dengan adanya kedzoliman dari penguasa dzolim atau dengan keadilan dari penegak keadilan. “ Ash-Shaukani berkata: Yang menjadi perbedaan diantara kaum muslimin adalah tentang ekspedisi ke tanah orang-orang kafir (futuhat) adalah dinyatakan dengan adanya Imam atau tidak? Kebenaran yang layak diterima
adalah bahwa itu adalah kewajiban atas setiap muslim. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rosul mutlak dan tidak terbatasi (hanya jika ada Imam).” Abu Bakar Al-Jazaa’i menyatakan tentang pilar-pilar jihad: ”Jihad dalam syari’ah memastikan 1 dari 2 kemenangan:pencapaian kekuasaan atau menjadi syahid, ada pun pilarnya adalah : 1. Keikhlasan (niat) 2. Seorang muslim yang berada dalam perintah imam dan untuk kemaslahatan Islam dengan persetujuan Imam. Ibnu Qudamah melarang untuk menghancurkan jihad jika penegakan imam belum ada dan Ibnu Taimiyah mewajibkn kepatuhan kepada siapa saja untuk menegakkan perintah jihad walaupun imam belum ditegakkan dan Ash-Shaukani berpegang bahwa eksistensi penegakan Imam bukanlah syarat untuk jihad dan Abu Bakar Al Jazaa’iri berpegang bahwa kaum muslimin yang membaiat seorang laki-laki diantara mereka yang memenuhi syarat imam maka mereka berperang di bawah komandonya walaupun ia belum diangkat sebagai imam (atas seluruh kaum muslimin). Jadi permasalahan ini menjadi sangat jelas dan keraguan atas persoalan ini harus dijauhkan dari hati karena kita dikemudikan kepada 2 perintah yang wajib kita penuhi yaitu perintah dari sang pembuat hukum (Allah), akan tetapi belum bisa dipenuhi untuk saat ini kecuali dengan sebuah pertempuran eliminasi yaitu: kaum muslimin belum menegakkan pemimpin mulai dari peperangan ini yaitu berperang untuk kemuliaan bendera Islam dan berada dalam perintah Imam. Pertama: menjauhkan dari pemimpin-pemimpin kafir. Kedua: menempatkan seorang muslim sebagai kholifah.
Yang pertama: Pemimpin kafir, ada yang mengasumsikan berhukum kepada kekafiran yang dalam kasus ini posisinya sebagai imam tidak sah semenjak awal karena dia menjauh dari kewajiban, atau dia telah mengambil posisi imam bagi kaum muslimin, maka ketidakimanan yang muncul dengan mengubah syari’ah atau hal lainnya seperti perbuatan-perbuatan menyebabkannya keluar dari Islam. Keadaan seperti ini menjadikan wajib bagi kita untuk memberontak melawan kedua macam penguasa tersebut dan menjauhkan mereka dari posisinya.
An-Nawawi mengutip dan Al-Qady Iyadh:”Konsensus ulama menyepakati bahwa posisi Imam menjadi tidak sah karena ketidakimanan dan jika ketidakimann muncul pada diri imam, maka ia akan disingkirkan dari jabatannya. Dia berkata,”Begitu pun juga jika dia meniggalkan sholat dan menyeru untuk meninggalkannya.
Ibnu Abidin mengatakan aqad imam dibatalkan jika bertentangan dengan tujuan pengangkatannya seperti adanya kekafiran/kemurtadan”.
An-Nawawi menyatakan:”Tidak diperbolehkan untuk melawan kholifah hanya karena ketidakadilannya atau melakukan pemberontakan sepanjang dia tidak mengubah apa pun dari prinsip Islam”. Ibnu Katsir mengatakan tentang orang-orang yang meninggalkan hukum-hukum Allah dan berhukum dengan hukum selainnya;”Siapa saja yang melakukannya adalah kafir dan menjadi kewajiban untuk memeranginya hingga dia kembli kepada hukum-hukum Allah dan Rosul-Nya, itu adalah sebuah penyimpangan dari syari’ah, tidak memandang apakah dia meninggalkan hukum syari’ah dalam jumlah besar atau kecil”.
An-Nawawi dikutip dari Al Qaady Iyadh,”Jika ketidakimanan (kekufuran) muncul dari pemimpin misal mengubah syari’ah atau berhukum kepada kebid’ahan maka kepatuhan terhadapnya menjadi batal dan wajib atas kaum muslimin untuk memberontak melawannya dan memberhentikannya mereka harus menggantikan seorang imam jika mereka mampu melakukannya. Jika itu tidak mungkin kecuali untuk kelompok yang kecil yang kemudian menjadi kewajiban atas mereka untuk menghentikan kekufuran.”
Kedua: mengangkat seorang muslim sebagai kholifah: ummat sepakat tentang kewajiban atas kaum muslimin untuk menunjuk seorang kholifah bagi mereka dan mereka membatasi metode kaum muslimin dalam 4 cara.1. Pengganti (kholifah) ditentukan, yaitu kedudukan kholifah yang menggantikannya.2. Pengganti (kholifah) ditentukan dengan beberapa kandidat, yaitu kholifah diseleksi dari beberapa kandidat yang menominasi diantara mereka untuk dipilih kholifah baru.3. Pejabat-pejabat dari pemerintahan Islam secara bersama mendominasi pemilihan kholifah.4. Mengambil pemimpin yang kuat, seorang muslim (laki-laki) menduduki dan menempati posisi sebagai kholifah dengan kekuasaan. Berdasarkan atas seleksi yang kita lakukan. Untuk metode yang pertama dan kedua, mustahil untuk saat ini sebab seorang kholifah dari kaum muslimin belum ada yang memiliki syarat-syarat sebagai pengganti kholifah untuk mengantikan kedudukan kholifah atas kandidat yang memenuhi syarat yang menominasi diantara mereka untuk menjadi kholifah baru. Metode yang ketiga bukan merupakan metode terbaik karena hal itu menuntut adanya pemerintahan Islam, maka tidak ada jalan lain untuk keadaan ini kecuali adanya para penguasa yang menyerahkan hukum mereka kepada orang yang sholeh yang terpilih untuk berhukum kepada hukum Islam.

E. Para Penguasa muslim sekarang membantah bahwa mereka mengucapkan laa ilaha illallah, dengan demikian bagaimana kita bisa menyebut mereka kafir.Umar Al Asykar berkata:
“Bagaimana bisa kamu menyebut mereka kafir? Mereka orang-orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah, dan Rasulullah saw. melarang Usama bin Zaid, untuk membunuh seseorang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah, dan hadits menyatakan tidak mengucapkan pada seseorang yang mengucapakan kepadamu salam, bahwa ia adalah seseorang yang tidak beriman.”Allah swt. berfirman:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS Ali Imran 3 : 7).
Pernyataan yang menyatakan bahwa para penguasa mengucapakan laa ilaaha illallah, bisa di bantah pada sudut pandang ini. Dan hadits yang mereka kutip di luar konteks bahwa yang berbunyi: “siapa saja yang mengucapkan laa ilaha illallah meyakini dan hatinya akan masuk surga.”
Ayat yang berbunyi:
“siapa saja yang menentang Allah dan rasul-Nya akan tinggal di nereka selamanya.”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya…. (QS An Nisa 4 : 116) Lebih lanjut iman bukan hanya apa yang dikatakannya, itu adalah untuk dikatakan di percaya dan melakukannya. Iman adalah apa yang diucapkan, dilakukan dan di dalam hati, jika ada dari tiga pilar ini hilang atau ditiadakan seperti dengan kata-kata atau dengan perbuatan kufur, maka keseluruhan iman akan hilang. Demikian itu adalah mengapa banyak pemimpin yang mengucapkan laa ilaha illallah, pada saat mereka ‘ditemani’ syirik besar atau kafir besar seperti berlemah lembut di depan berhala atau pada aturan selain dari pada apa yang telah Allah swt. sampaikan atau mengejek Dien Allah dan lain-lain, mereka akan meninggalkan ikatan Islam dengan sadar ataupun tidak, sungguh Allah swt. menginformasikan kepada kita orang-orang yang mengucapkan kalimah (syahadatain) dan menyatakan diri beriman kepada Allah dan masuk Islam, namun mereka adalah musyrik atas ‘kecintaan’ mereka pada thaghut (seperti kecintaan mereka pada pengadilan Barat atau hukum buatan manusia, PBB, hukum international atau pada hakim yang memutuskan selain dari apa yang telah Allah swt. sampaikan), Allah swt. berfirman,
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS An Nisa 4 : 60)
v Thalab An – Nushrah
Adapun menyamakan ( indentifikasi ) zaman sekarang dengan periode mekkah tidak tepat.
aturan – aturan allah telah turun semua secara komprehensif termasuk jihad qital didalamnya sedangkan pada periode mekkah belum turun ayat – ayat hukum yang ada hanya ayat – ayat aqidah / keimanan. apakah Karena perintah shalat, zakat, haji dan ayat –ayat hukum lainnya turun di madinah maka kita tidak mengerjakannya karena sekarang dianggap fase mekkah.
secara kuantitas umat islam generasi awal di mekkah hanya berjumlah puluhan sedangkan sekarang umat islam telah mencapai 1 milyar lebih.
Mari kita simak ucapan Umar ra kepada Kuffar Quraisy di Mekkah setelah ia menyatakan keIslamannya, dalam sirah Ibnu Hisyam 1/299 : “Saya bersumpah demi Allah seandainya kami ini tiga ratus orang laki-laki tentu kami telah meninggalkannya – yaitu Mekkah – buat kalian atau kalian meninggalkannya buat kami”, yaitu seandainya kami tiga ratus orang laki-laki tentu kami perangi kalian dengan pedang sampai salah satu pihak meninggalkan Mekkah..
kondisi lemah dan jumlah sedikit inilah yang menjadi sebab utama yang mendorong Nabi saw untuk meminta nushrah
Thalabun nushrah (meminta dukungan)” dalam rangka mencontoh perbuatan Nabi saw yang meminta dukungan untuk diennya dan dirinya dari kabilah-kabilah dan para pemuka Arab…!!
Nushrah pada masa nabi ketika itu belum disyari’atkan berperang sedangkan sekarang ayat – ayat jihad telah turun bahkan telah sempurna bersamaan dengan dien ini, oleh karena itu I’dad dan jihad, serta thalabun nushrah dari orang-orang yang memiliki syaukah (power)… semua itu berjalan bergandengan, dan tidak boleh berjalan dengan salah satunya menjadi alasan untuk menjauhi atau meninggalkan jalan yang lainnya.
Adapun bila dikatakan bahwa jalan thalabun nushrah adalah syarat untuk keshahihan tegaknya khilafah; yaitu bahwa tidak boleh bagi umat menelusuri jalan lain untuk nushrah dien ini dan meninggikan kalimatnya selain jalan thalabun nushrah…!!Ini adalah ucapan yang sama sekali tidak ditunjukkan oleh satu nash syar’iy shahih pun baik penegasan maupun sindiran, yang sama sekali Allah tidak menurunkan satu bukti pun, dan tidak pernah seorang ‘alim mu’tabar dari salaf dan khalaf pun mengatakannya. Dan orang yang mengklaim selain itu maka hendaklah dia mengeluarkan kepada kami dalil dan buktinya :“Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (AlBaqarah:111).
Andaikata thalabun nushrah adalah syarat untuk keshahihan tegaknya tentulah pasti datang walaupun satu nash dari Al Kitab atau As Sunnah yang menegaskan atas hal itu, dan tentulah Ahlul ilmi menuturkannya walau sekali saja dalam Kitab-kitab Fiqh dan Ilmu. Apa yang dilakukan Nabi saw berupa thalabun nushrah dari kabilah-kabilah dan suku-suku Arab – sedang beliau di Mekkah pada masa ketertindasan sebelum Allah berikan kekuasaan dan sebelum sempurnanya dien – menunjukkan akan kebolehan hal itu, namun tidak menunjukkan akan wajibnya hal itu apalagi sampai menunjukkannya sampai syarat untuk memulai kehidupan Islamiy dan tegaknya khilafah rasyidah, atau (sampai) menunjukkan bathilnya jalan jihad setelah sempurnanya dien ini dengan ajarannya, penjelasannya dan penjelasan hukum-hukumnya.
Agar sesuatu itu dikatakan wajib dalam syari’at haruslah ada bukti padanya banyak nash atau satu nash yang memberikan faidah perintah dan pengharusan dalam melakukan sesuatu ini tanpa ada qarinah syar’iyyah yang memalingkannya kepada tingkatan nadh (sunnah) yang mana ia itu di bawah fardlu.
Dan pertanyaan : Mana nash-nash syar’iyyah yang memberikan faidah perintah umat dan pengharusannya untuk berjalan di atas cara thalabun nushrah tidak yang lainnya… sehingga bisa dikatakan bahwa thalabun nushrah itu adalah fardlu dan wajib??!Bila jalan thalabun nushrah – sebagaimana yang telah lalu – tidak didapatkan satu nash pun yang menghantarkannya kepada tingkatan wajib dan fardlu; yaitu dengan setiap keadaannya tidak naik pada tingkatan sunnah atau nadb, maka bagaimana kita menjadikannya jalan yang sunnah yang naik dan meningkat serta menghapus jalan jihad fi sabilillah yang mana nushrah syar’iyyah yang berjumlah ratusan – dan sebagiannya telah lalu – menunjukkan akan kewajiban dan kefardluannya…?! Maka apa masuk akal secara syari’at adalah sunnah didahulukan atas hal wajib apalagi kalau itu menjadi sebab dalam penggugurannya dan tidak menegakkannya…?!!
Yang mendorong Nabi saw untuk meminta nushrah dari kabilah-kabilah dan suku-suku Arab adalah lemah dan jumlah yang sedikit yang tidak cukup untuk mengemban konsekuensi dan tanggung jawab dien ini… Dan tatkala kadar cukup telah terealisasi dengan nushrah al anshar terhadap Nabi saw dan diennya, maka tidak dikenal dari Nabi saw bahwa beliau meminta nushrah setelahnya dari seorangpun selama-lamanya, dan beliau pun tidak menawarkan dirinya terhadap kabilah-kabilah, dimana ini menunjukkan bahwa nushrah itu disyari’atkan karena hal lain bukan karena sendirinya. Bila kadar kecukupan telah terealisasi dan telah lenyap sebab-sebab nushrah dan faktor-faktor pendorongnya maka ia tidak mengamalkannya.
Bila jumlah sedikit adalah yang mendorong Nabi saw untuk thalabun nushrah… maka apa yang membawa umat pada hari ini untuk thalabun nushrah sedangkan jumlahnya melebihi satu milyar muslim…
Dan bila diketahui bahwa Nabi saw meminta Nushrah dari tujuh puluh orang dari kalangan Aus dan Khazraj dalam bai’at Aqabah II – padahal saat itu mereka itu tidak mewakili seluruh penduduk Madinah Munawwarah –, agar setelahnya beliau berpindah – dengan mereka dan dengan orang-orang yang bersamanya dari kalangan muslimin Mekkah – kepada fase jihad dan muwajahah bersama al bathil, ya seluruh al bathil di setiap belahan bumi
Dahulu di zaman Nabi saw, prinsif thalabun nushrah itu ada pada kabilah-kabilah Arab, dan ia itu dianggap termasuk sarana-sarana yang efektif dan yang memungkinkan serta berpengaruh, sebagaimana kebisaaan permohonan perlindungan dan bantuan adalah hal yang sering terjadi dan ada, serta ia itu dihormati oleh semua kalangan. Bila seseorang masuk dalam perlindungan kabilah atau syaikh qabilah maka jaminan perlindungannya itu wajib diperhatikan oleh seluruh anggota kabilah bila tidak oleh seluruh kabilah-kabilah dan suku-suku Arab, dan ini berbeda dengan zaman kita sekarang ini dimana fenomena-fenomena semacam ini sudah tidak ada atau tidak ada pengaruhnya yang berarti, dimana ucapan-ucapan yang diterapkan lagi berpengaruh adalah milik negara-negara besar, perkumpulan-perkumpulan yang besar dan koalisi-koalisi yang luas. Satu jama’ah – di tengah-tengah perkumpulan dan koalisi-koalisi yang luas milik Ahlul bathil – sudah tidak memiliki pengaruh yang berarti apalagi individu-individu tertentu memiliki pengaruhnya yang nyata di bidang ‘amaliyyah perubahan, oleh sebab itu tidaklah mudah cenderung kepada sarana ini – yaitu cara thalabun nushrah dari individu-individu tertentu – dan mengandalkannya dalam ‘amaliyyah perubahan dan (dalam) membangun pilar khilafah Islamiyyah rasyidah.
Di antara hal yang mengecilkan keefektifan cara (thalabun) nushrah adalah sistim yang luas yang dimiliki Dinas Intelejen dan pengawasan spionase yang menginduk pada pemerintah-pemerintah dunia dan lokal, ini yang menjadikan tergolong hal mustahil atau sangat sukar bagi kelompok mu’minah menempuh cara thalabun nushrah sesuai cara pertama; yaitu menawarkan dirinya terhadap individu-individu dan jama’ah-jama’ah – terutama bila individu-individu atau jama’ah-jama’ah ini adalah kafir – dan meminta dari mereka nushrah dalam rangka berjuang untuk dien ini dan penegakkan khilafah Islamiyyah, kemudian ia tidak diciduk oleh dinas Intelejen dan dilenyapkan dari wujud?!!
Di antara hal yang menetapkan keshahihan apa yang telah lalu adalah bahwa Nabi saw dalam pencarian dukungannya tidak menghabiskan waktu lebih dari dua tahun kecuali beliau telah mendapatkan pendukung yang tercermin pada dua kabilah Aus dan Khazraj,
Masa thalabun nushrah pada Nabi saw tidak melebihi dua tahun, Nabi saw mendatangi orang-orang yang memiliki kekuatan dari kalangan musyrikin seraya mengajak mereka untuk memberikan nushrah dan masuk dien ini secara bersamaan, Kedua belas : Dien ini telah sempurna dalam bentuk penjelasan dan penurunan yang mana tidak boleh bagi fase Mekkah menjadi penghapus atau penggugur bagi fase Madinah yang datang kemudian yang telah turun di dalamnya kewajiban jihad dan hukum-hukumnya; dimana kita menganggap fase pencarian nushrah yang lalu sebagai penghapus atau penggugur bagi fase jalan jihad yang datang kemudian yang mana dien ini telah sempurna dengannya…!!Tidak boleh kita menganggap fase [Tahanlah tangan-tangan kalian dan dirikanlah shalat] yang lebih dahulu turunnya sebagai penghapus atau penggugur bagi fase [Telah diwajibkan berperang atas kalian] dan fase [Perangilah kaum musyrikin seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kalian seluruhnya] yang turun lebih akhir…?!
Saat berbicara tentang nasikh dan mansukh datang ucapan ulama seluruhnya yang menunjukkan pada penghapusan fase Madinah yang terkemudian atau hukum-hukum yang turun lebih akhir terhadap fase Mekkah yang lebih dulu atau hukum-hukum yang lebih dahulu turun, dan bukan sebaliknya!!
Saat beliau meminta nushrah dari suku Aus dan Khazraj?!!Maka dengarkanlah hadits Ka’ab Ibnu Malik – dan ia itu telah ikut bai’at aqabah II – yang shahih, yang menyimpulkan apa yang terjadi di bai’at aqabah kedua, ia berkata, Rasulullah saw berkata : “Saya membai’at kalian dengan syarat kalian melindungi saya sebagaimana kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian.”
Ia berkata : Maka Al Bara Ibnu Ma’rur memegang tangan beliau terus berkata : Ya, demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan al haq sebagai nabi, sungguh kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi istri-istri kami maka kami membai’at wahai Rasulullah, kami demi Allah adalah anak-anak perang dan ahli senjata, kami warisi itu dari para pendahulu kami.Ia berkata : Maka Abul haitsam Ibnu At Taihan – saat Al Bara berbicara dengan Rasulullah saw – memotong perkataan seraya berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya di antara kami dengan orang-orang (Yahudi) ada tali ikatan, dan sesungguhnya kami akan memutusnya, maka apakah bila kami melakukan itu dan kemudian Allah memenangkan engkau, apakah gerangan engkau akan pulang kepada kaummu dan meninggalkan kami?
Ia berkata : Maka Rasulullah saw tersenyum terus berkata : “Justeru darah dengan darah dan kehormatan dengan kehormatan, aku adalah bagian kalian dan kalian pun bagianku, aku perangi orang yang kalian perangi dan aku berdamai dengan orang yang kalian damai dengannya.”
v Legalitas Tekstual Qur’an Sunnah Tiada Khilafah Tanpa Jihad Qital
Dalam hadits, sungguh Al Bukhariy dan yang lainnya telah mengeluarkan dari Ubadah Ibnu Ash Shamit ra, ia berkata : “Nabi saw memanggil kami, maka kami membai’atnya, di antara apa yang ia ambil (janjinya) dari kami adalah kami tidak merampas kekuasaan dari pemegangnya, kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang di sisi kalian ada bukti di dalamnya dari Allah.”
Dan dalam riwayat Muslim : Mereka berkata : “Apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata : “Tidak, selama mereka masih shalat, tidak boleh selagi mereka menegakkan shalat di tengah kalian.”
Hadits ini menunjukkan dengan nyata atas sikap kewajiban memberontak kepada imam umum atau pemerintah dan memeranginya bila nampak darinya kekafiran yang nyata jelas yang tidak mengandung pemalingan dan takwil.
Bila keberadaan khalifah adalah syarat untuk keabsahan qital dan jihad, sedangkan disini khalifah sudah murtad dan nampak darinya kekafiran yang nyata, yaitu dengan sebab dia melakukan kekafiran yang nyata maka gugurlah kekhilafahan dan kepemimpinan dia atas umat ini, dan ia kehilangan sifat sebagai penguasa muslim serta umat menjadi tanpa khalifah dan imam, namun demikian Nabi saw memerintahkan umat untuk menjihadinya, memeranginya, melengserkannya dan menggantinya dengan pemimpin muslim adil yang lainnya.
Semua negeri – negeri muslim roda pemerintahan dan aturan kehidupannya dari masalah politik, sosial budaya sampai ekonomi dijalankan layaknya seperti sebuah darul kufur sepeninggaln runtuhnya otoritas politik khilafah islamiyah, jadi bagaimana sikap seorang muslim terhadap masalah ini tentunya kita kembali kepada konsep hukum perang terhadap darul kufur, harap dicatat darul kufur dan orang – orang kafir yang hidup damai hanya ada ketika adanya khilafah dan terlibat perjanjian diantaranya atau kafir tsb menjadi ahlu dzimmah – penduduk non muslim Negara khilafah.
Logikanya memberontak dan memerangi khalifah dalam pemerintahan islam ( khilafah ) yang secara nyata – nyata menampakkan kekufuran yang nyata diperbolehkan bahkan diwajibkan, apalagi sekarang yang notabene pemerintahan yang dijalankan dengan system kufur dan penguasa muslimnya bersekutu dengan darul kufur lainnya tentu lebih diperbolehkan atau bahkan fardlu kifayah. Tentunya untuk melakukan hal ini harus memperhatikan sasaran dan maslahatnya bagi umat.
Dari Salamah bin Nufail Al Kindi ia berkata,’ Saya duduk di sisi Nabi, maka seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah, manusia telah meninggalkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka mengatakan, ”Tidak ada jihad lagi, perang telah selesai.” Maka Rasulullah menghadapkan wajahnya dan besabda,” Mereka berdusta !!! Sekarang, sekarang perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian manusia dan memberi rizki umat tersebut dari hamba-hambanya yang tersesat (ghanimah). Begitulah sampai tegaknya kiyamat, dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat.”[ Shahih Sunan Nasa’i 3333, Silsilah Ahadits Shahihah no. 1991.]
” Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang sampai hari kiamat.” [HR. Muslim].
kata “thoifah /kelompok/golongan” dipakai untuk satu orang atau lebih, seperti firman Allah: “Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”[QS. At Taubah :66].
“Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat.” [HR. Muslim].
Kata ‘Ishobah (kelompok) disebutkan untuk menunjukkan jumlah tiga dan seterusnya, jika perang membela dien dan kehormatan dien ini terlaksana dengan kelompok yang beranggotakan tiga orang atau lebih, maka bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat terlaksananya jihad? Bagaimana mungkin adanya seorang kholifah menjadi syarat dilaksankaannya jihad padahal jihad tetap terlaksana oleh seorang, oleh tiga orang atau lebih, sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits ini ?
“ Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat : pahala dan ghonimah.” [HR. Muslim]. Hadits ini berlaku untuk zaman ada kholifah dan zaman tidak ada kholifah, tak ada sesuatu hal pun yang bisa menghentikannya.
Beliau juga bersabda,” Hijrah tak akan berhenti selama masih ada jihad.”[ HR. Ahmad dan lainnya, Silsilah Ahadits Sshahihah no. 1674.] Dalam riwayat lain,” Hijrah tak akan berhenti selama musuh masih diperangi.” Sebaliknya, beliau juga bersabda:
“ Hijrah tak akan berhenti sampai taubat terhenti. Taubat tak akan terhenti sampai matahari terbit dari barat.”[ HR. Ahmad dan Abu daud, Shahih Jami’ Shaghir no. 7469]
Ini menguatkan bahwa jihad tak akan berhenti sampai taubat berhenti, sementara taubat tak akan berhenti sampai matahari terbit dari barat, hari di mana “ iman seseorang tidak memberinya manfaat karena sebelumnya ia tidak beriman” [Qs. Al An’am :158]. Karena hijrah akan senantiasa ada selama jihad masih ada berdasar dilalah nash. Jika kita nyatakan jihad terhenti dengan tidak adanya kholifah, maka konskuensinya hijrah juga terhenti, konskuensi selanjutnya taubat juga terhenti. Pendapat ini jelas tidak boleh karena menyelisihi dalil-dalil yang shorih (tegas) dan ijma’ umat.
Adapun dilalah mafhum nash, As sunah menunjukkan adanya mujahidin ---yang merupakan thoifah manshurah---dan keberadaan mereka yang akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Eksistensi mujahidin sampai hari kiamat ini mengandung konskuensi terus berlangsungnya jihad---salah satu sifat thaoifah manshurah---tanpa terhenti. Jika secara dhohir jihad, yang ada adalah i’dad untuk jihad dan i’dad merupakan bagian dari jihad. Kewajiban i’dad sama dengan kewajiban jihad karena jihad tak akan sempurna tanpa i’dad, sementara qaidah menyatakan “Suatu kewajiban bila tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.” Seorang muslim hanya mempunyai dua pilihan; antara berjihad fi sabilillah atau beri’dad untuk jihad saat kewajiban jihad gugur karena kelemahan (tidak ada kemampuan)…Ia tidak mempunyai pilihan ketiga.
*Sunah[Hadits shahabat Ubadah bin Shomit serta penjelasan imam Nawawi, Ibnu Hajar dan qadhi ‘Iyadh yang menyatakan ijma’ wajibnya berjihad menjatuhkan kholifah yang kafir] menunjukkan wajibnya melawan kholifah yang telah kafir dan wajibnya mengangkat kholifah muslim yang baru. Jika jihad harus bersama kholifah, sementara kholifahnya telah kafir ; maka bagaimana cara jihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Siapa yang berjihad melawan dan menjatuhkan kholifah yang kafir tersebut ? Kholifah –padahal dia telah kafir—ataukah umat Islam tanpa bersama kholifah yang kafir ?
Syaikh Ibrahim Al Khudry berkata,” Jika ada yang bertanya: ‘Jihad hanya boleh diserukan oleh seorang Imam ( kholifah), sementara pada hari ini kaum muslimin telah terpecah belah, tiap-tiap wilayah dipimpin oleh imam ( penguasa ) masing-masing. Lalu siapakah yang berhak menyerukan panggilan jihad ?’
Jawabannya:Jika Imam suatu wilayah telah menyerukan panggilan jihad, wajib bagi wilayah penduduk tersebut berperang melawan kaum kafir. Demikian pula Imam suatu wilayah lain, wajib bagi segenap kaum muslimin untuk menyambut panggilan tersebut. Jika kaum mujahidin dipimpin oleh seorang Amir, lalu Amir tersebut menyerukan panggilan jihad, mereka wajib mentaatinya. Hingga sekarang keamiran seperti itu masih ada dan akan tetap ada sampai akhir zaman. Contoh di wilayah Afganistan. [Syaikh Al Khudri hal 16.]
Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada kholifah merupakan syubhat yang sangat berbahaya. 1- Syubhat ini sama sekali tidak berdasar dalil baik Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaf maupun perkataan para ulama salaf. Bahkan bertentangan dengan nash-nash tegas Al Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’ salaf.2- Syubhat ini sebenarnya merupakan aqidah kaum Rafidzah. Imam Ath Thohawi berkata,” Haji dan jihad akan tetap berjalan bersama para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang bijaksana maupun yang jahat, tak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya.” Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy menjelaskan perkataan ini dengan mengatakan,” Syaikh mengisyaratkan bantahan atas kaum Rofidzah di mana mereka mengatakan,” Tidak ada jihad fi sabilillah sampai keluar ar ridho dari keturunan Nabi Muhammad dan seorang penyeru menyeru dari langit,” Ikutilah dia !”
Ketika aqidah ini memberatkan mereka sendiri, mereka tidak konskuen dengan aqidah ini, di mana mereka tetap mengadakan revolusi Khomeini dan mengadakan pemerintahan dengan nama “wilayatul Faqih.” Pelopor lain yang menyebarkan syubhat ini adalah Ahmad Ghulam Al Qodiyani, si nabi palsu India yang mengabdi kepada imperialis Inggris.3- Yang memetik keuntungan terbesar dari syubhat ini adalah tentara imperialis salibis, Zionis, komunis dan pemerintah-pemerintah sekuler di dunia Islam yang memusuhi Islam dan loyal kepada negara kafir barat.4- Syubhat ini berarti mensalahkan dan mencela (jarh) salafush sholih dan para ulama yang tsiqot :- Berarti menuduh para shahabat yang berjihad tanpa izin kholifah ketika kholifah ada dengan tuduhan berbuat dosa, berhak mendapat adzab Allah dan bunuh diri. Shahabat yang tertuduh adalah Abu Bashir dan kawan-kawan. Karena saat itu kholifah mengikat gencatan senjata 10 tahun dengan kafir Quraisy.- Berarti menuduh Husain bin ali dan Abdullah bin Zubair serta seluruh shahabat dan tabi’in yang membela keduanya sebagai pelaku dosa besar (bunuh diri, maksiat kepada imam), padahal saat itu tidak ada kholifah syar’i yang umum atas seluruh kaum muslimin.- Demikian juga daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah melewati beberapa masa di mana mereka mengadakan jihad padahal kondisi belum pulih sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai kholifah umum bagi seluruh kaum muslimin. Meski demikian, tak seorang ulama pun yang mengatakan jihad mereka tidak masyru’ dengan alasan jihad mereka tidak berasal dari izin kholifah umum. - Berarti menuduh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengikut beliau yang berjihad melawan Tartar, serta syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjihad memberantas kesyirikan di Nejed, sebagai orang-orang berdosa karena berjihad tanpa izin kholifah dan mereka berada di neraka Jahannam karena maksiat kepada kholifah dan melakukan aksi bunuh diri.- Berarti menuduh jihad umat Islam yang mengusir imperialis kafir seperti di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Moro, Pattani, Kashmir dan lain-lain sebagai sebuah perbuatan haram, maksiat dan bunuh diri. Artinya harus menyerahkan tanah air kepada musuh Islam dengan suka rela.- Berarti mengajak umat untuk meninggalkan jihad dan tenggelam dengan kenikmatan dunia, sampai nanti datangnya kholifah.
v Faktor pendorong meniscayakan harus adanya jihad qital meskipun tiadanya khilafah yaitu :
keberadaan orang-orang yang tertindas dari kalangan laki-laki dan wanita-wanita dan anak-anak yang meminta bantuan dan pertolongan mereka atas musuh-musuh mereka yang menindasnya dengan penindasan dan penghinaan?!.
Dan berapa banyak negeri di zaman kita ini yang di dalamnya kaum mustadl’afun dari kalangan laki-laki, wanita-wanita, dan anak-anak kaum muslimin meminta pertolongan dari kezaliman, penindasan, intimidasi para thaghut yang menimpa mereka tanpa mereka mendapatkan orang yang menyelamatkan mereka atau menolong dan membela mereka…?!!Mereka meminta tolong, namun tidak ada kehidupan bagi yang memanggil, dan bisa jadi datang sebagian jawaban – dari kalangan yang memiliki kekuatan untuk menolong andai mereka mau – dalam bentuk sebagian penyesalan dan rintihan…!!
Sedangkan jawaban yang paling buruk dan paling memukul kepala orang-orang yang tertindas di bumi ini adalah datangnya kepada mereka jawaban atas apa yang menimpa mereka berupa penyiksaan dan penindasan serta kezaliman11 : Sabarlah kalian di atas penyiksaan dengan segala macam corak dan ragamnya; Sabarlah atas sikap mereka mengintimidasi dan menghalang-halangi kalian dari dien dan keislaman kalian, sabarlah atas pembunuhan kalian, pemenjaraan kalian dan penyiksaan kalian, sabarlah atas pencabulan kehormatan dan pembedelan perut-perut para ibu yang hamil… sabarlah atas kehinaan dan perbudakan terhadap para thaghut… karena kami tidak memiliki sesuatupun untuk (menolong) kalian dan kami tidak mampu membela kalian dan mengangkat kezaliman dari kalian sebelum datangnya khalifah yang ditunggu-tunggu, karena tidak boleh kami menjihadi musuh kalian kecuali bersama khalifah dan setelah adanya khalifah…!!Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah : 111).

Friday, September 01, 2006

wihdatul wujud / hulul ( unity of existency )

Aku ini adalah diriMu, cinta ini adalah cintaMu jiwa ini adalah jiwaMu, rindu ini adalah rinduMu, darah ini adalah darahMu suatu ungkapan yang menunjukkan pengalihan perhatian. Dalam hal ini aku diqiyaskan sebagai manusia dalam memahami hakikat ketuhanan ( Allah ) dalam hal ini dianalogikan atau diposisikan sebagai diriMu. Sungguh bahwa aku yang notabene adalah manusia dengan segala kepemilikan dirinya berupa cinta, jiwa, hasrat rindu, darah bahkan jasad sekalipun, semuanya adalah suatu refleksi atau wujud eksistensi akan adanya Allah dengan segala kemahaanNya yang mampu mencipta manusia. Atau dalam bahasa sastra sufi aku ini adalah tuhan ( ana al – haq ). Ungkapan –ungkapan tersebut jauh dari kesan atau sama sekali meniadakan unsur antromorfisme, maknanya sama sekali bukan perpaduan atau penyatuan atau persamaan antara lahut ( tuhan ) dan nasut ( manusia ). Tapi ungkapan tersebut lebih kepada pemisahan antara makhluk dan khalik ( aku dan kamu sendiri adalah sesuatu term yang menunjukkan perbedaan dan pemisahan dengan penghubung adalah ) atau lebih tepatnya hakikat ungkapan tersebut adalah alat untuk memahami, mengenal hakikat allah adalah makhluknya itu sendiri. al – Hallaj sendiri berkata “ barangsiapa yang mengira bahwa lahut berpadu jadi nasut atau nasut berpadu jadi lahut, maka kafirlah dia, sebab allah mandiri dalam zat maupun sifat. Dan dia samasekali tidak menyerupai makhluk - makhlukNya ” ungkapan – ungkapan al – Hallaj seperti ana al – haq atau memposisikan dirinya adalah tuhan / personifikasi tuhan, ungkapan tersebut bermakna majazi atau sastrawi multitafsir, maknanya tidak secara lahiriyah. al – Hallaj mengajak kita untuk memikirkan, memahami dan merenungi jati diri kita sebagai manusia yang secara akal mampu membuktikan dan meyakinkan akan adanya allah sebagai pencipta. Secara inderawi kita mampu mengindera diri kita sebagai manusia yang dapat diambil kesimpulan ada yang membuat kita ini ada , ibarat meja yang dibuat tukang kayu atau tai unta dan jejak kakinya di gurun pasir, padahal kita samasekali tidak melihatnya secara langsung unta lewat di gurun pasir. Bentuk pengalihan perhatian dari hakikat tuhan ke manusia dapat kita lihat dalam kisah sujudnya malaikat kepada adam kecuali iblis yang sombong dan termasuk golongan kafir. Sujud yang notabene suatu bentuk ritualitas penghambaan atau penyembahan kepada sang pencipta dinobatkan kepada manusia yang memberi kesan adanya kesetaraan antara allah dan manusia atau adanya personifikasi tuhan pada diri manusia. Namun hakikat itu semua lebih tepatnya dipahami sebagai sebuah ketundukkan makhluk atas segala perintah allah

PLURALECTICA OF TRUTH CLAIM

Fenomena pluralitas keyakinan / agama membuatku ragu dan gelisah untuk merespon hakikat kebenaran. Sungguh akalku sangat membutuhkan suatu pemikiran yang dapat menerima doktrin yang sudah kadung menjadi suatu yang dogmatis yakni klaim bahwa hanya islam yang benar, hanya islam saja yang masuk surga, umat lain masuk neraka semua. Hal ini sulit kutelan mentah – mentah jika melihat fenomena betapa majemuknya kehidupan terutama pada tataran keyakinan / agama ini, hingga kuambil kesimpulan bahwa semua umat yang melaksanakan kebajikan akan masuk surga dan sama – sama menuju kebenaran yang satu. Dan surga itu terlalu sempit dan sepi jika hanya umat islam saja yang masuk surga, tidak adilkah jika allah menyiksa di neraka romo, pendeta, rabi dan umatnya ini yang baik .
Namun aku mencoba mengkompromikan segala kegundahan akalku ini dengan do ktrinitas islam yang katanya rasional, memuaskan hati, menentramkan jiwa yang menurut pemahamanku sangat eksklusif. Sungguh setelah kutelusuri khasanah keislaman yang membentang luas hingga kutakbisa raih semuanya, masih ada saja sesuatu yang menggumpal menjadi sebuah pertanyaan – pertanyaan yang cendeung membuatku ragu dan sesat secara normatif teologis dalam islam, tapi itu suatu yang fitrah manusiawi yang senantiasa akan terus bertanya – tanya akan eksistensinya dalam kehidupan. Hanya keimanan yang mampu meminimalisir segala kegundahan yang menyesatkan tersebut. Jika aku melihat dari sudut pandang islam akan tampak wujud kompromi yang sifatnya normatif maupun legalis fiqhiyah dimana hal tersebut merupakan benang merah jawaban atas segala problem pluralitas.
Problem pluralitas agama bukanlah terletak pada klaim – klaim kebenaran masing – masing agama, biarlah hal itu menjadi sesuatu yang manusiawi, alamiah, esensi jati diri dan wujud ekspresi manusia dalam memenuhi naluri tadayyunnya ( menuhankan / mentaqdiskan sesuatu ). Semua agama dalam kondisi apapun harus diapresiasikan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini tidak boleh dinafikan atau disimplikasikan ataupun direlatifkan apalagi dinegasikan. Pluralitas agama adalah hakikat ontologis ( haqiqah kauniah ) yang genuine dan sunnatulloh. Islam memperlakukan agama lain secara adil dan membiarkan umat lain untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa reduksi, distorsi dan manipulasi klaim kebenaran yang absolut dan eksklusif, hal itu dilakukan agar jati diri dan indentitas sebuah agama tidak hilang. Intinya pengamalan masing – masing agama sesuatu yang harus dilakukan termasuk penggunaan simbol – simbol keagaamaan yang dianggap sakral. Jadi yang menjadi titik permasalahan dari problem atau konflik pluralitas keagamaan adalah siapa yang menjadi ”host culture” atau tuan rumah dari segala wujud / bentuk pluralitas, tuan rumah yang senantiasa menerima, menaungi dan melayani / menjamu tamunya dari semua budaya yang ada didunia ( visiting plural / culture ). Jadi siapa yang layak menjadi tuan rumah yang menyajikan hidangan yang tepat bagi tamunya yang datang dari segala wujud perbedaan atau pluralitas baik itu agama, budaya, suku, bangsa, etnis dan ras yang berbeda – beda.Islam dengan konsep – konsep teologis normatif dan legalis fiqhiyahnya sangat mengakui eksistensi praktis sosiologis dan antropologis ( IPS BANGET SI NEY :J !) Antar manusia yang memeluk agama, keyakinan dan tradisi yang sangat plural dan berbeda – beda . secara normatif dan teologis islam mengklasifikasikan pluralitas keagaamaan di dunia kedalam tiga kategori I) benar sepenuhnya, pada tataran ini hanya lah monopoli islam semata, islam harus berdiri diatas semua agama – agama didunia dan islam tidak boleh disejajarkan dengan agama – agama lain didunia ini. II) benar sebagian , untuk kategori ini dibagi lagi kedalam dua sub bagian i) ahlu kitab, mereka ini mempunyai porsi yang spesial karena secara nasab dan geografis sangat dekat maka penegasannya lebih spesifik dan kategoristik. Iman kepada nabi dan rosul serta kitab wahyu mereka bagian integral dari rukun iman dalam islam. Islam mengindentifikasikan dirinya dengan mereka satu famili ibrahim dan satu tradisi dengan mereka yang tradisi semitik yang disebut hanifisme, meskipun pada akhirnya kedua agama tersebut ( kristen & yahudi ) telah bergeser menjadi tradisi agama budaya yang berdasarkan kitab wahyu ( injil & taurat ). Ada satu konsep yang menarik tentang mereka bahwa mengucapkan salam, hewan sembelihan ahlu kitab, perempuan ahlul kitab sesuatu yang boleh dan halal bagi muslim. Agama budaya yang penuh dengan kekeliruan dan keslahan dalam memahami dan menginterpretasikan teks – teks yang mereka yakini sebagai wahyu. ii) quasi – ahlu kitab yakni hindu, budha, zoroaster, taoisme, shinto & konfusianisme semua agama ini mengklaimkan mempunyai kitab suci tapi tidak ada bukti yang secara jelas dan periwayatan yang jelas bahwa kitabnya adalah wahyu. namun hal ini dapat dikompromikan bahwa ”fenomena kenabian adalah universal yakni terjadi di seluruh ruang waktu”. Dengan demikian seluruh umat manusia adalah umat yang satu ( ummatan wahidah ), setiap manusia / individu / kelompok pernah menjadi umat salah satu nabi dan rosul terdahulu, meskipun semuanya telah bergeser menjadi tradisi agama budaya yang salah dan sesat. III) dan kategori terakhir adalah sepenuhnya salah yang termasuk didalamnya agama – agama pagan penyembah benda – benda, animisme, dinamisme etc.Adapun secara legalis fiqhiyahnya yang terperinci Islam mengatur individu – individu dan komunitas yang hidup dalam sebuah masyarakat yang berbeda secara agama dan budaya semuanya dianggap sama sebagai warga negara – dalam konteks historis dan normatif disebut khilafah islamiyah – yang merupakan tatanan global kenegaraan ( JADI INGAT BU DIEN EUY J!). Islam sangat memenuhi hak – haknya sebagai warga negara dan menerangkan kewajibannya ( bayar jizyah bagi yang mampu en kaya tapi klo miskin mah disubsidi ) serta menjaga kedamaian dan ketertiban umum. Inilah wujud praktis dari wihdatul ummatan wahidah yang berimplikasi mengidealiskan dunia ini menjadi satu umat yang secara ikhlas, tanpa paksaan dimana orang – orang kafir yang melihat tabir kebenaran ini terlihat dengan jelas berbondong – bondong memeluk islam atau setidaknya dominasi kaum mayoritas yang toleran terhadap kaum minoritas.
to be continued