Tuesday, October 31, 2006

ISLAMISASI SUFISTIKISSME

Integrasi Tasawuf dan Syariat

Anggapan bahwa tasawuf sangat kontradiktif dengan Islam bahkan sebagian kalangan muslim yang bersikap antipati terhadap taswuf berawal dari sebuah asumsi bahwa tasawuf sebagai barang impor yang kemudian mengalami modififikasi seperti pergantian terminologi, penambahan dan penyempurnaan dengan justifikasis ayat-ayat al – Qur’an dan hadist. Teori ini disebut teori pengaruh.

Dikatakan bahwa tasawuf merupakan produk samping dari persinggungan Islam dengan tradisi agama-agama atau peradaban yang lebih tua seperti ajaran mistisme Kristen, ajaran Upanishad dan Vedanta hindu, yang mana keduanya mengajarkan perlunya menjauhi atau meninggalkan sama sekali kenikmatan badaniah dan duniawi demi meraih ketenangan dan kesucian jiwa selain itu juga bahwa tasawuf dipengaruhi oleh tradisi spekulatif hellenisme abad pertengahan yang mistik dan gnostik. Teori pengaruh ini berpijak pada sebuah asumsi keliru yaitu bahwa terdapat kesamaan dan kemiripan dalam bebebrapa aspek pada dua tradisi, maka sudah pasti terdapat keterkaitan sejarah antara keduanya. Asumsi ini menggiring untuk menarik kesimpulan bahwa tradisi agama yang muncul belakangan pasti telah mengambil atau menyadur dari tradisi sebelumnya.

Namun kalau kita cermati asumsi ini menafikan fakta empiris dimana spritualisme atau mistisme merupakan elemen atau nilai – nilai universal yang pasti dapat ditemukan pada semua tradisi agama-agama atau kepercayaan di dunia. Dalam sebuah agama terdapat dua aspek yang sangat penting yakni aspek eksoterisme dan aspek esoterisme, keduanya pasti ada dalam setiap agama termasuk islam.

Eksoterisme adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. pandangan eksoterisme bisa dikatakan sebagai nama lain dari suatu perangkat agama yang disebut syariat atau modifikasi dari syariat yakni fikih. Sedangkan esoterisme adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi hanya sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis formalistik. Melalui esoterisme manusia akan menemukan dirinya yang benar alasannya karena pandangan esoterisme akan mengesampingkan ego manusia dan menggantikannnya dengan ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan. Pandangan esoterisme bisa dikatakan sebagai nama lain dari tasawuf yang didalamnya penuh dengan nilai spritualisme, mistisme, abstrak dan metafisik. Nilai-nilai esoterisme inilah yang dicoba dieksploitasi dan dieksplorasi oleh kalang sufi dengan baik, benar dan indah.

Islam adalah agama yang yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang sudah sempurna, kesempurnaan dan kebenaran islam bukanlah klaim pengikutnya tapi dari wahyu sendiri (Al-Maidah : 3) dan universal bagi seluruh umat manusia (al-a’raf : 158) baik secara eksoterisme maupun esoterisme. Maka semestinya pemikiran tasawuf yang pada level esoteris idealnya tidak bertentangan dengan syariat atau fikih yang berada pada level eksoteris. Keduanya seiring dan sejalan. Makrifat dan hakikat yang merupakan wilayah sufistik harus sejalan dengan thariqah dan syariat. Orang yang menggeluti dunia tasawuf adalah orang – orang yang hidup dan teguh mengerjakan perintah dan larangan (baca syari’at) jadi idealnya seorang sufi sedetikpun mereka tidak akan meninggalkan syari’at. Dalam islam jelas sekali tuhan telah memberi petunjuk kepada manusia jalan jalan, cara, konsep, metode, sistem (syariat dan thariqah) untuk menuju ma’rifat dan hakikat yang sifatnya sufistik, metafisis, mistis, irrasional dan berada pada level esoteris. Juga memberi petunjuk pelaksanaan berbagai aspek eksoteris yang formalistik, ritualistik, legalis, dan dogmatis untuk mencapai yang esoteris melalui wahyu baik al-Quran maupun As-Sunnah. Dengan syariat seseorang bisa mencapai hakikat dan makrifat pada level esoteris yang absolut.

Secara tekstual Qur’an dan Sunnah serta kehidupan nabi Muhammad SAW, para shahabat, tabiin dan tabiit tabiin memberikan petunjuk dan legalitas dalam pelaksanaan aspek – aspek esoteris. Seperti dalam al – Qur’an terdapat berbagai istilah – istilah esoteris sepeti mujahadah al – nafs (QS 29: 69, 79: 40 – 41), maqam taqwa (QS 49 : 13, 2 : 194), maqam zuhd (QS 4: 77, 57: 20), maqam tawakal (QS 65 : 3, 9 : 51), maqam syukur (QS 14: 7, 3: 145), maqam sabar (QS 16 : 127, 2 : 155), maqam ridho (QS 89 : 28, 5 : 119), maqam cinta (QS 5 :54, 3: 31), maqam ma’rifah (QS : 282, 18 : 65), muraqabah (QS 96: 14, 63 : 11), kondisi khauf (QS 32 : 16, 3 : 175 ), kondisi raja’ (QS 29: 5), kondisi tumaninah (QS 89 : 27 – 28, 13 : 28), dekatnya tuhan dengan manusia sedekat bahkan lebih dekat daripada urat lehernya (QS 50: 16, 2: 186), kemana saja manusia menghadap dia akan berjumpa dengan tuhan (QS 2: 115). Kehidupan pra kenabian Muhammad yang selalu diwarnai dengan tahanus dan khalwah di gua hira hingga akhirrya beliau mengalami pengalaman esoteris yang menakjubkan yakni prosesi turunnya wahyu dan berjumpa dengan sang ruhul qudus jibril. Selain itu juga kehidupan rosulullah, para shahabat, tabiin dan tabiit tabiin yang penuh dengan intensitas peribadatan kepada allah, kesederhanaan hidup dan sikap zuhud.

Tapi perlu diingat bahwa fenomena tasawuf yang sebagian besar merupakan pengalaman keagamaan kalangan elit tertentu yakni yang direpresentasikan oleh kalangan sufi dan pengalaman keagamaan itu bukanlah agama itu sendiri karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat awam dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh elit tertentu ( sufi ). Level esoterisme secara garis besar melampaui tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum, pengalaman yang sifatnya sufistik esoteris tidak bisa diraih, diuraikan, dideskripsikan dengan akal dan rumit untuk dibicarakan secara jelas, terbuka mengenai rahasia terdalam dari pengalaman keagamaan tersebut di hadapan orang – orang awam, ini jelas bukan maksud agama diturunkan untuk umat. Agama islam bukan hanya untuk elit tertentu saja namun untuk seluruh umat manusia berbagai kalangan dari segala status sosial, suku, agama, ras apapun (al-a’raf : 158). Jadi pengalaman keagamaan sufistik yang sifatnya esoteris hanya bisa dinikmati oleh individu – individu tertentu tidak bisa dinikmati umat manusia secara keseluruhan.

F. Kesimpulan

Fenomena keagaamaan tasawuf yang berkembang di masyarakat islam, menggugah sebagian umat islam yang terwakilkan oleh para ulama untuk sesegera mungkin melakukan pembaharuan dengan beberapa metode yakni islamisasi, kritik, harmonisasi dan kompromi ajaran tasaswuf dengan pemahaman manhaj ahlusunnah wal jamaah / sunni yang sudah menjadi pemahaman mayoritas dan ideal umat islam. Para ulama dalam melihat perkembangan ajaran tasawuf terutama setelah munculnya ajaran tasawuf nyleneh, egoistis dan kontradiktif dengan pemahaman islam secara umum yakni pemahaman manhaj ahlu sunnah wal jamaah. Ajaran tasawuf yang dianggap nyleneh, egoistis dan kontradiktif tersebut antara lain ungkapan – ungkapan egoistis kaum sufi yang ganjil, aneh serta jauh dari kesadaran dan ketenangan selain itu sebagian sufi juga lebih mementingkan keshalehan individual yang hanyut dalam pemuasan sakhwat ekstase diri.

Para ulama dalam melihat tasawuf membaginya ke dalam dua golongan yakni ekstrem dan moderat. Tidak hanya menganalisis obyek tasawuf, para ulama bahkan menggeluti dunia tasawuf bahkan ada yang menjadi sufi. Hal itu dilakukan semata – mata hanya untuk melakukan pembaharuan dengan mengembalikan tasawuf ke landasan al – Qur’an dan sunnah serta disesuaikan dengan pemahaman salafusshalih generasi shahabat, tabiin, tabiit tabiin, hal inilah yang disebut manhaj ahlu sunnah wal jamaah. Gerakan pembaruan oleh para ulama bisa dikatakan sebagai sebuah pengintegrasian ajaran tasawuf dengan syariat dengan melalui proses adopsi, adapsi, islamisasi, kritik, kompromi dan harmonisasi.

Perlu digaris bawahi bahwa Islam adalah agama yang yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang sudah sempurna, kesempurnaan dan kebenaran islam bukanlah klaim pengikutnya tapi dari wahyu sendiri (Al – Maidah : 3 ) dan universal bagi seluruh umat manusia (al – a’raf : 158) baik secara eksoterisme maupun esoterisme. Dari aspek esoterisme inilah sebagian umat islam yang direpresentasikan oleh kalangan sufi, mengembangkannya menjadi sebuah ajaran tasawuf. Wallahualam bi showab.

BIBLIOGRAFI

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Depdikbud balai pustaka, Kamus Besar bahasa Indonesia , Balai Pustaka , Jakarta, 1998

Zarkasyi, Hamid Fahmi, Majalah Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Th I, No 3, September – November, Khoirul Bayan, Jakarta 2004

Zarkasyi, Hamid Fahmi, Majalah Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Th I, No 3, September – November, Khoirul Bayan, Jakarta 2004