Thursday, September 21, 2006

ALL ABOUT HADIST AHAD

A. Khobar (hadits) Ahad adalah Dzanni ??
Para ulama tidak pernah menggunakan kata ragu atau yang lebih mereka kenal dengan “Dzan” yang memiliki 2 makna yang berlawanan. Kata “Dzan” kadang-kadang bermakna kesalahan dan kadang-kadang bermakna pujian.
“ Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhoi.” (QS.Al Haqqah,69:20-21)
Di sini Allah menggunakan kata “Dzan” sebagai suatu sinonim untuk masalah keimanan di hari pembalasan nanti yang mana sesungguhnya ini merupakan masalah keimanan yang pasti.
“…Serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS.At Taubah, 9:118).
Sekali lagi, Allah memuji dengan kata “Dzan” atas 3 orang shohabat yang ditinggalkan oleh Rosulullah saw.dan Shohabat-shohabatnya sebagai hukuman karena tidak memenuhi panggilan Jihad.
“ (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.Al Baqarah,2:46)
Sekali lagi, Allah menggunakan kata “Dzan” untuk penggantian terhadap masalah keimanan yang pasti di hari pembalasan nanti.
“ Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata:” Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan yang banyak dengan izin Allah.” (QS. Al Baqarah, 2:249)
Sekali lagi, Allah menggunakan kata “Dzan” untuk suatu masalah yang pasti dan tidak ada keraguan dalam masalah ini. Pertayaan yang mesti diajukan, apakah pemahaman atas kata “Dzan” ini digunakan untuk orang-orang musyrik (musyrikin) direkomendasikan untuk mengikuti dan kaum muslimin dipuji bagi mereka yang menyakininya?
Kata ”Dzan” ketika digunakan untuk kesalahan, kedudukan berada pada makna sebuah keragu-raguan, ketidakpastian juga dalam hal kutukan yang ada dalam pandangan syari’ah baik dalam masalah keimanan maupun perbuatan.

Tetapi ketika “Dzan” yang berisi pujian, maka berhubungan dengan aqidah sebagai suatu hal yang pasti. Hal inilah kenapa para ahli bahasa Arab memulai Adz dzann Shakkun wa Yakin” (artinya Adz Dzan bermakna keragu-raguan dan kepastian), lihatlah dalam Lisanul Arab 13/272 dan An-Nihayah 3/163).
Kemudian “Dzan” digunakan dalam Al-Qur’an untuk pujian bagi orang-orang yang beriman yang dikenal dengan “Dzan Ar-Rajih” (Dzan yang bermakan kebenaran) yang menghantarkan pada ilmu dan keyakinan, sedangkan “Dzan” yang bermakna kesalahan dikenal sebagai “Dzan Al-Marjuh” yaitu berarti keragu-raguan dan perkiraan.
Oleh karena itu “Dzan” disebutkan oleh ulama terhadap hadist-hadist Ahad adalah Dzan Ar-Rajih (Dzan yang bermakna kebenaran), inilah kenapa semua ulama-ulama yang kamu telah sebutkan di atas menerima khobar ahad dalam masalah aqidah, walaupun dalam khobar ahad adalah Dzanni, maka harus dilihat penjelasan yang akan dipaparkan kemudian.
Al-Hafidh Ibnu Abdil-Bir berkata:” Apa kita mengatakan bahwa Hadist Ahad mengharuskan pada perbuatan tetapi tidak diyakini, seperti halnya satu orang saksi dari 2 orang saksi atau 4 orang saksi adalah sama. Atas landasan ini hampir semua ahli Fiqh dan Atsar (ucapan Shahabat) dan semua dari mereka menerima pembenaran khobarul waahid dalam masalah Al-I’tiqaadat (Aqidah/keimana) dan tidak menolaknya serta berusaha melestarikan khobar ahad dan memakainya dalam sebuah bagian dalam beragama yaitu dalam aqidah mereka. Inilah pendapat yang dibangun oleh jama’ah Ahlus Sunnah” (At Tamhid 1/8).
Kedua, Katakanlah sebagai argumen, pada khobar ahad yang menunjukkan arti keragu-raguan, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah, Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS.Yunus, 10:36),
Kemudian dari manakah HT menjadikan dalil untuk membatasi ayat ini hanya pada makna keragu-raguan dalam aqidah dan bukan pada perbuatan? Apa bukti yang dapat mereka berikan untuk membatasi ayat ini hanya pada masalah aqidah tetapi seseorang mengambilnya (mengambil khobar ahad) dalam masaslah perbuatan (syari’at)? Padahal ayat ini bersifat ‘aam tanpa adanya pembatasan dan jika seseorang hendak memakai Taqyid seharusnya mengedepankan teks syar’i lainnya untuk mendukungnya sebagaimana yang diketahui dari aturan-aturan ushul fiqh. Hal ini membuktikan bahwa HT memisahkan masalah aqidah dan syari’at (irja’) yang mana Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempersatukan antara aqidah dan syari’at (talazum

B. khobar ahad $ iman kepada yang ghaib
Bahwa mereka tidak menerima “Khobarul Ahad” (hadits ahad) dalam masalah aqidah dan inilah sebab mereka berbeda dengan Ahlus Sunnah dalam masalah aqidah karena Ahlus Sunnah menjadikan hadits ahad tersebut (Khobarul Ahad) sebagai prinsip yang penting dalam aqidah jadi karena itulah mereka tidak menerima perkataan/penyampaian Rosul dalam beberapa persoalan yang dijelaskan melalui khobarul ahad,
sebagai contoh dalam masalah siksa kubur, mereka tidak beriman juga dalam masalah Dajjal. Mereka juga tidak beriman dalam masalah turunnya Al-Masih dan mereka tidak beriman dalam banyak persoalan yang telah disebutkan dalam hadits ahad. Hal ini dikarenakan, mereka meragukan keaslian (kebenaran) hadits-hadits ahad yang telah diriwayatkan secara baik oleh perawi-perawi yang adil dan dapat dipercaya, para perawi yang berperan sebagai sumber berita yang berasal dari generasi awal hingga generasi terakhir dari mereka (yaitu generasi Tabi’in) dan tidak ada pertentangan mengenai hal ini, tidak ada kelemahan yang tersembunyi dan hadits-hadits yang mereka bawa (hadits ahad) dan telah memenuhi 5 syarat untuk mencapai pada tataran ilmu.
Sedangkan terhadap apa yang mereka (HT) katakan untuk hadits ahad hanya menghantarkan pada “zhan” maka tanggapan terhadap hal ini secara detail dapat kita temukan dalam buku saya (Sheikh Halim Al Hilaali) yang berjudul:”Al Adillah Wash Shawaahid Fi Wujub Al Akhdh Bi Khobarul Waahid Fil Ahkam Wal ‘Aqaaid” dimana menyebutkan dalil-dalil yang mereka (HT) gunakan dalam buku mereka “Ad Dusiyah” dan saya telah menanggapi mereka secara detail, beliau berharap siapa saja bisa mempelajari secara mendalam dan menjadikannya sebagai rujukan. Saya berdo’a kepada Allah semoga buku tersebut bisa bermanfaat bagi kaum muslimin.

Pertanyaan: Mereka mengatakan:”Saya menerima hadits-hadits shohih Bukhari tetapi saya tidak mengimaninya.”Apa seharusnya respon kita dan sikap kita terhadap orang-orang seperti ini?”
Jawaban: Teks yang mereka ucapkan persis sebagaimana keterangan yang ada pada buku mereka yang berjudul “Ad-Dusiyyah” yang membahas tentang hadits-hadits (ahad tersebut) sebagai contoh sebuah cuplikan :
” Ketika seseorang dari kamu menyelesaikan tasyahud akhir kemudian dia berkata (doa), ‘Ya Allah, Aku berlindung kepad-Mu dari siksa kubur dan siksa api neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian serta fitnah Dajjal.”
Mereka berkata:” Saya melakukan perbuatan ini sesuai dengan pengetahuan (ilmu). Lantas, perkataan mereka kita sanggah dengan suatu pertanyaan terhadap mereka: ”Bagaimana kita melakukan suatu perbuatan tanpa mengimani (mempercayai) perbuatan tersebut? Ini sungguh suatu kegilaan karena ini suatu hal yang bertentangan. Bagaimana bisa kamu menegaskan dalam perkataan tanpa mengimaninya? Ini sungguh tidak rasional (tidak berpikiran sehat). Sama saja kamu mengatakan:‘”Saya berkata dengan lisanku dan melakukannya tanpa mengimaninya dalam hatiku.” Mereka tidak beriman dengan adanya siksa kubur, mereka tidak beriman terhadapnya tetapi mereka mengatakan: kami melakukannya.

Pertanyaan: Ada hadits-hadits autentik (asli) yang lain tentang siksa kubur, dimanakah diantara mereka yang bukan hadits-hadits ahad?
Jawaban: Tentu saja mereka bertanya demikian karena mereka tidak beriman (terhadap hadits ahad). Dalam “Mutawatir Al-Ma’nawi“(hadits yang maknanya mutawatir), Mutawatir dalam pengetahuan hadits ada 2 kategori:

· Mutawatirul Lafdi (kata-kata dalam hadits yang mutawir) seperti dalam hadits, :

”Barangsiapa yang berbohong melawanku maka ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka”.

· Mutawatirul Ma’nawi (yaitu hadits-hadits yang berbeda dalam kata-katanya tetapi sama maknanya) seperti hadits tentang turunnya Nabi Isa alaihissalam, banyak hadits yang memberitakan tentang hal tersebut tidak dengan satu kata-kata yang sama, akan tetapi setuju pada satu fakta (satu makna) yaitu turunnya Nabi Isa, datangnya Dajjal, datangnya Imam Mahdi ‘alahissalam, semua hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad, jika mereka setuju dalam pengertian dan maknanya sepanjang mereka tidak dilaporkan dengan jalur ahad berarti mereka tidak mengakui Mutawatirul Ma’nawi. Oleh karena semua sunnah adalah ahad kecuali sebagian kecil saja.akan tetapi apakah kita mungkin bertanya: Apakah mutawatir dari itu? Kemudian mereka tidak bisa menjawab. Lantas berkata dengan perkataan ini:” Kami menerimanya tetapi tidak mengimaninya”. Perkataan tersebut adalah suatu perkataan yang kontradiksi dan tidak mungkin, sebagaimana perkataan:” Keburukan dari sesuatu yang tidak mungkin adalah membawa hal yang bertentangan dalam satu waktu, seperti mengatakan,”Ini adalah malam dan siang” Dua hal yang bertentangan terjadi pada satu waktu adalah suatu yang tidak mungkin.”Ini hidup dan mati”, kamu menerimanya dan kamu tidak mempercayainya (mengimaninya).” Dimana ada aqidah/keimanan (I’tiqad) adalah suatu keyakinan yang pasti seperti yang mereka ucapkan dengan kebenaran fakta yang dilandaskan atas bukti dan tanda-tanda yang jelas.” Bagaimana mungkin kamu mengatakan bahwa kamu menerimanya kemudian mengatakan kamu tidak pasti dalam perkara tersebut maka ini bukan suatu penerimaan akan tetapi keragu-raguan dan ketidakpastian.
Mereka berusaha menggunakan dalil untuk perkara ini terhadap khobarul ahad yang hanya menghantarkan pada zhan (keragu-raguan) dengan mengutip sebuah ayat yang berbunyi:
“ Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang mereka ingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS. An Najm,53:23).
“ Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm,53:28)
Bagaimanapun “zhan” yang disebutkan disini adalah “zhan” yang tidak benar (bukti) yang salah, dan ini dihubungkan dengan khabarul ahad sebagai bukti berdasarkan hukum syari’ah dan khobarul ahad adalah informasi yang mengandung kemungkinan salah (zhan), sehingga mereka tidak beribadah kepada Allah dilandaskan atas khobarul ahad yang mereka anggap masih berupa persangkaan dan menyimpan keragu-raguan padahal pembenaran zhan ini adalah ada pada tingkatan yang pasti sebagaimana firman-Nya:
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.” (QS,.At Takaatsur,102:3-5).

Tingkatan pengetahuan yang dimaksud disini adalah sampai pada yakin (pasti).

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan “’Ainul Yaqin, Kemudian kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takaatsur,102:6-8).

Jadi antara pengetahuan (ilmu) yang pasti (‘ilmul Yaqin) dan ‘Ainul Yaqin adalah derajat (tingkatan) keilmuan yang telah disebutkan Allah pada akhir surat Al-Haaqah.
”Haqqul Yakin”, kita memiliki 2 istilah :
a) ‘ilmul Yaqin
b)’Haqqul Yaqin

yang memiliki tingkatan tetapi keduanya berakar pada satu, yaitu ‘ilmu. Jadi sumber yang datang dari Rasulullah saw. dikatakan autentik (asli) harus memenuhi syarat-syarat :
1. Mata rantai perawi yang tidak terputus
2. Dapat dipercaya
3. Perawi tepat (daya ingat tajam/bukan pelupa)

(tidak ada ada pertentangan, keberadaanya telah diterima (diakui) oleh perawi yang lain) dan tidak memiliki kecacatan yang tersembunyi sebagai seorang perawi, kemudian baru kita ketahui bahwa dia (perawi) adalah seorang yang sempurna dalam hal penyampaian berita (matan hadits), akan tetapi kita bisa menguji dan mengecek hadits tersebut.
Syarat-syarat inilah yang membawa pengetahuan kepada kita, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa itu hanya menghantarkan pada zhan. Zhan yang mana yang dimaksudkan itu? Benar atau zhan yang bermakna pasti atau zhan yang bermakna tidak pasti. Kemudian mereka akan mengatakan zhan yang bermakna benar (pasti) Kita bisa katakan, : ”Ini adalah sumber dari masalah aqidah (keimanan) sebagaimana firman Allah swt. :
“(yaitu)orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya.” (QS.Al Baqarah,2:46).
Kata ”zhann” disini digunakan dengan makna keimanan pada satu prinsip keimanan yaitu beriman pada hari akhir, sebagaimana firman Allah,
” Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.”(QS. Al Haaqah,69:20).
Dalam ayat tersebut menggunakan kata ”zhann” dan ini dikutip dalam pujian terhadap-Nya,dia (dalam ayat tersebut) adalah seorang yang beriman (begitupun juga ayat berikut):
“Mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS.At Taubah,9:118)
Dalam pemberitaan tersebut diingatkan kembali tentang “zhan” dengan makna I’tiqad (keimanan pasti). Jadi maksudnya adalah keimanan.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS.Ash Shaff, 61:3).

Kesimpulan
Setelah membawa diskusi penting ini, kita berharap hal itu dapat ditinggalkan secara pasti, yaitu :
Ø Makna dari hadits ahad
Ø Bahaya tidak menggunakan hadits ahad untuk menegakkan permasalahan aqidah, hal seperti itu adalah klaim dari beberapa jama’ah yang menyimpang.
Ada banyak jama’ah yang mengklaim bahwa mereka memperjuangkan Islam. Akan tetapi ketika dalam pembelajaran mereka diselidiki ditemukan sebuah kenyataan bahwa mereka sesungguhnya jauh dari jalan yang lurus, jadi ini menggambarkan secara jelas bagi kita bagaimana sebenarnya jama’ah tersebut sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw.

Kedatangan (munculnya) jama’ah-jama’ah ini bukanlah suatu yang mengejutkan sebab Rasulullah saw. telah memprediksikan bahwa ummat ini akan terpecah menjadi banyak golongan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
” Ummat Yahudi terbagi menjadi 71 golongan dan ummat Kristen terbagi menjadi 72 golongan, Ummatku akan terbagi menjadi 73 golongan yang berbeda, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan dari mereka, yaitu siapa saja yang mengikuti aku dan shhabat-shhabatku pada masa ini.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini seharusnya menjadi benteng kita dan kehati-hatian kita terhadap keberadaan jama’ah yang ada serta membuktikan terhadap kita bahwa jama’ah-jama’ah yang menyimpang beserta pengikut-pengikut mereka akan melebihi dari jumlah orang-orang yang mengikuti jalan yang benar.
Ini adalah kewajiban setiap orang untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran Islam. Kita nasehatkan pada siapa saja yang terperangkap ke dalam keimanan yang tidak menggunakan hadits ahad sebagai substansi bagian dari aqidah maka berupayalah untuk merujuk kepada keimanan generasi terbaik yaitu generasi shahabat Rasulullah saw. dan generasi yang mengikuti mereka. Pada keimanan shahabat dengan keimanan mereka, maka tidak ada keraguan bahwa mereka akan menemukan keimanan para shahabat dan orang-orang yang mengikutinya secara total berbeda dengan orang-orang yang mengambil prinsip-prinsip bid’ah.
Semoga Allah menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus, menolong kita untuk melihat dengan jelas (jalan yang lurus itu) dan membantu kita agar kita senantiasa bisa menapaki jalan yang lurus itu. Amien.

0 comments: