Wednesday, January 31, 2007

"I'M TERORIS?"

Sejak peristiwa mengejutkan yang terjadi 11 September 2001, kita sering mendengar istilah terorisme atau dalam bahasa arabnya adalah al-Irhaab dalam berita ataupun diskusi kelompok. Pembicaraan mengenai teroris menjadi topik hangat yang terus diperdebatkan mengenai status hukumnya.

Banyak orang yang tidak suka bahkan mengutuk perbuatan ini sebagai perbuatan yang tercela, hal ini dikarenakan pemikiran mereka telah diisi pengertian negatif tentang tujuan terorisme. Dalam kamus besar bahasa Indonesia terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik) praktik-praktik tindak teror. Sedangkan teror itu sendiri adalah perbuatan (pemerintah dsb) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb). Dari definisi ini diketahui jelas bahwa terorisme merupakan sesuatu yang menakutkan dan sering diindentikan dengan suatu tindakan anarkis yang sifatnya militeristik, tapi perlu dicatat bahwa tindakan teroris bisa dilakukan oleh pihak manapun yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda bisa dilakukan oleh Negara, kelompok dan individu tertentu dengan alasan tertentu pula, bisa alasan politik, ekonomi bahkan dengan alasan agama sekalipun.

Pendapat mengenai terorisme bisa saja berbeda-beda malah saling bertentangan sepeti pendapat diatas, ini tergantung dari sudut mana kita berfikir.

Adapun dalam islam kita tidak bisa menafikan dan terus-menerus berapologetik dengan mengatakan bahwa islam agama perdamaian dan pelaku tindakan terorisme adalah murni konspirasi yang dilakukan oleh intelejen asing untuk mencemarkan islam. Jelas-jelas dalam terminologi islam terdapat berbagai istilah yang mengarah kepada tindakan terorisme yaitu jihad, Qital, dan al – irhaab. Adapun rincian legalitas terorisme dalam khazanah tekstual keislaman sebagai berikut :

"Apabila kamu bertemu dengan orang kafir (di medan perang) maka pancunglah leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti?." (QS. Muhammad : 4)

Imam Syafi'i berkata, dalam Mausu'atul Syafi'i

"Oleh karena itu, menteror musuh Allah itu wajib syar'i hukumnya (berdasar nash) dan barangsiapa mengingkarinya maka kafir. Allah swt. Berfirman : "Tak seorang pun mengingkari ayat Kami kecuali dia kafir." (QS. Al-Ankabut : 4)

"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang yang melampau batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS. 2 : 190-193)

Diwajibkan atas kamu berperang (qital), padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. ( Attaubah : 29 )

Dan banyak teks-teks ayat lain lagi yang serupa dengan hal diatas yang mencirikan bahwa menteror musuh merupakan bagian dari islam. Tapi permasalahannya tidak semudah itu dalam memahami khasanah terorisme dalam islam. Tindakan terorisme yang berupa jihad, qital, dan al-irhaab ( terorisme ) merupakan suatu keharusan tergantung kondisi yang seperti apa, targetnya siapa, tempat yang seperti apa, dan apa tujuan yang ingin dicapai.

Secara sosiologis historis peradaban islam tentu kita ingat bagaimana Aisyah ra, seorang istri rosulullah melakukan tindakan terorisme dengan melakukan pemberontakan kepada Imam Ali kw, selaku kholifah rosyiddah hingga terjadilah perang jamal yang terkenal dengan armada ontanya. Tentunya antara pihak ali dan aisyah mempunyai legalitas secara teks dalam Quran dan sunnah. Di masa sesudahnya tentu kita ingat dengan tragedi karbala yang berakhir dengan penyiksaan imam husein RA dengan brutal, ketika itu kepala beliau ditebas dan dijadikan persembahan bahkan konon katanya dijadikan bola untuk dimainkan dari satu kaki ke kaki lain - yang sekarang dikenal dengan soccer yang menjelma menjadi permainan yang emosinya menyerupai naluri emosional keagamaan – yang perlu di garis merah ketika itu bagaimana imam husein mengambil jalan oposisi dan bersikap melawan kezaliman dan penyimpangan yazid secara fisik, yang bermula dari diserahkannya kekuasaan secara monarki turun temurun dari muawiyah ke yazid anaknya yang jauh dari mekanisme ummah dalam islam.

Tentu kita juga ingat dengan kejadian perang ainul jalut yang mana ibnu taimiyyah mengumandangkan fatwa teror perang terhadap pemerintahan tartar yang berhukum dengan Ilyasiq sedangkan bangsa Tartar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka, hukum ilyasiq sendiri adalah kompilasi hukum dari berbagai unsur agama yakni islam, kristen, yahudi dan syariat Nabi Ilyas as. Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud."

Maka para ulama dan masyarakat memahami penyebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku."
tentu dalam alam pikiran sebagian umat islam yang melakukan tindakan terorisme di seluruh negeri di dunia adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam.

Firman Allah Ta’ala :

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menetapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [QS. Asy Syura :21].

Jadi amatlah jelas bahwa tindakan terorisme mendapatkan semacam legalitas dalam khazanah keislaman baik secara tekstual Al-Quran dan As-sunnah maupun secara sosiologis historis peradaban islam. Diaplikasikan oleh sebagian umat islam jika dalam kondisi perang, penjajahan, dilakukan semata sebagai aksi pembalasan atas penindasan dan pembunuhan umat islam oleh pasukan militer negara-negara barat atau lebih ekstrem lagi tindakan terorisme dilakukan terhadap penguasa-penguasa muslim yang menerapkan hukum thagut yang dianggap menyimpang dari ajaran islam.